Mohon tunggu...
alhulwa
alhulwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bayi perempuan lahir kala senja datang Bismillaah.. Do'a Usaha Ikhtiar Ikhlas Istiqamah Tawakkal Optimis Yakin Bisa Biidznillaah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Cinta yang Dirundung Rindu

12 Maret 2021   17:13 Diperbarui: 12 Maret 2021   17:28 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

22 Maret 2020, kala itu mentari baru saja menyapa di kampusku tercinta, Arraayah. Angin membisikan kabar bahwa seluruh mahasiswa diwajibkan pulang dikarenakan Covid menyebar bagai zombie. Bak mendengar gemuruh yang lirih di tengah indahnya mentari menyapa, kulangkahkan kaki dengan gontai menuju asrama untuk persiapan yang tiba-tiba ini. Detik berganti menit, menit berganti jam dan begitu seterusnya hingga gelap menyapa dan mempertemukanku dengan orang yang kucinta, Ummiku. Ada rasa aneh menyelimuti hatiku, kenapa dia berubah setelah 2 tahun tak bersua? Kenapa orang yang melahirkanku, yang terkenal dengan sikap tegas dan beraninya, kenapa sikap itu kini pudar seketika? Bahkan memanggil namaku saja seperti ada batu di ingatannya yang menghalangi. Apa yang terjadi??

Hari demi hari silih berganti, waktu memberitahuku apa yang Ummi alami, Ummi menderita penyakit yang disebabkan oleh dirinya yang terlihat kuat dan mandiri agar tidak merepotkan orang lain hingga akhirnya otaknya tak mampu menahan tekanan itu yang berujung tumor otak menyapanya.

Kunikmati masa-masaku bersamanya, mengajariku kemandirian yang dulunya asing bagiku; mengambil uang di mesin ATM, belanja kebutuhan sehari-hari, memasak dan pelajaran hidup lainnya, meskipun terlihat sepele namun sangat berharga bagiku. Di rumah yang berukuran 600 meter inilah kami tinggal, meniti kekompakan yang sebelumnya tiada. Ketika mentari menyapa, kubuka pintu seluas-luasnya, melihat langit dengan senyumannya, meninggalkan secercah harapan untuk kesembuhannya. Kukenakan sepatu biruku dan kupakaikan sepatu abu-abu untuk Ummiku, kugeser gerbang hitam di depanku, menutupnya kembali demi keamanan. Langkah demi langkah kami tempuh, genggaman tangan kami tak terpisah, menghampiri ibu-ibu yang membeli bahan-bahan untuk pasakannya nanti di rumah, tidak lupa kubeli untuk kami juga, menyapa tetangga yang sedang bercengkrama, menghampiri ibu yang sedang menyapu halamannya, hingga tak terasa lelah menyergap kaki kami dan cengkraman tangan hangatnya terlepas dariku hingga tubuhnya mencium tanah. Kuambil lengannya, membopongnya hingga sampailah di tempat yang biasa bapak-bapak duduki untuk berjaga malam. Seorang wanita paruh baya memberi Ummi segelas air hangat dan setelah berbincang cukup panjang, wanita itu pergi. Kupandangi wajah Ummiku yang terlihat lugu sekarang, rintikan hujan dari mata mengalir ke pipiku, secepat kilat kuhapus rintikan itu, berganti dengan senyuman hangat yang membuatnya tersenyum juga. Kusuapi Ummi buah pear dan pisang, tak lupa juga air dan benda pahitnya. Kini mentari bagaikan api, kami tinggalkan tempat ini setelah energi terisi kembali. Berjalan hingga sampailah di tujuan, rumah kami. Membawa pulang ayam dan udang yang sudah kami beli membuatnya senang. Ummi beristirahat di atas karpet merah yang lembut, menunggu ayam dan udang matang hingga hidangan siap disajikan, kami menyantapnya dengan lahap. Ketika senja menyapa, lantunan ayat suci al-Qur'an yang dilaturkan Ummi begitu mengiris hati, bagaimana tidak? Dulunya lisan itu begitu lancar mengucapkannya, sekarang bagai pemula yang baru mempelajarinya. Kini penyakit itu sudah menyerang ke semua yang ada. Hari berganti minggu kami lalui bersama, rumah ini menjadi saksi bisu terbangunnya kedekatan antara kami, nano-nano rasa di dalamnya. Karena kami hanya berdua, Bapak pergi ke Sumatra, Abi kandungku sudah punya keluarga, maka Tanteku mengajak kami untuk tinggal bersamanya. Sebuah mobil biru datang menghampiri kami dan membawa kami ke tujuan. Kini keadaan Ummiku semakin memburuk, kaki yang biasa di langkahkan ke majelis ta'lim dengan semangatnya, kini melemah, hanya kursi rodanyalah yang selalu menemaninya bahkan sampai ia terlelap. Belaian tangannya pun nyaris tak kurasakan lagi, tangannya melemah, dekapan hangatnya membuatku merindu, tubuhnya melemah. panggilan sayangnya yang menyejukan, rinduku mendengarnya, ingatannya mulai melemah. Seperti bayi itulah keadaannya sekarang.

Kala itu gelap, sunyi sepi kurasa, rasa yang tak biasa, rasa yang seakan mengakatakan kamu akan kehilangan orang yang tercinta. Kupandangi wajah Ummi yang tertidur pulas, kuselimuti tubuhnya, kupegangi tangannya, kuusap dan kuciumi wajahnya. Mata ini tak kuat membendung air yang ingin menerobos hingga banjirlah wajahku. Kenapa perasaan ini semakin kuat tatkala tangannya mulai membeku, bibirnya memucat, lidahnya mendingin meskipun wajahnya terlihat tenang. Kupanggil Tanteku pukul 22:20 WIB, tak berpikir panjang, kami persiapkan diri menuju RSUD Bekasi, mengunci rumah dan mendorongnya menggunakan kursi roda dengan sekuat tenaga kami. Jalanan di gang ini begitu hening, tak kami pedulikan. Sekuat tenaga kami mendorongnya agar cepat sampai tujuan, setelah keluar gang, menuju jalan raya yang ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, orang-orang yang sedang berkasih sayang, saling menyuapi makanan, saling bercengkrama, wajar saja karena sekarang malam minggu. Hampir semua melirik kami memandang bingung dan iba hingga sampailah kami di tujuan pukul 22:50 WIB. Suasana ini begitu asing bagiku karena jarang sekali menginjakkan kaki ke sini, kupanggil dokter untuk memeriksa keadaannya, dokter mengatakan bahwa "Ini ada pasien DO" tak begitu mengerti maksudnya, namun firasatku mengatakan bahwa Ummi telah tiada. Dokter langsung menutup muka Ummi dengan selimut yang kami bawa. 18 oktober 2020, ternyata perasaan itu berubah menjadi kenyataan. Shock, itulah yang kurasa, sedangkan Tanteku menangis sejadi-jadinya. Kuputuskan untuk menahan bendungan air mata ini dan menenangkan Tanteku, saling berpelukan di depan jenazahnya. Seakan waktu berhenti berputar, tak dapat kuberpikir tenang. Suster terus menanyakan bagaimana Ummi akan dimandikan? Dimana di kuburnya? Apakah sesuai protokol kesehatan atau tidak? Tak kutanggapi semua pertanyaan itu. Begitu sesak melihat kenyataan bahwa Ummi benar-benar sudah tiada, ruhnya sudah pergi meninggalkan jasadnya. Om dan Tante yang mengurus adrimistrasi, meninggalkanku yang sedang menatap wajah Ummi. Mata ini tak kuasa menahan bendungan air mata hingga membanjiri wajahku, meluapkan segala yang ada di dalamnya. Menit berganti jam hingga tibalah waktu untuk memandikannya, ini untuk terakhir kalinya aku memandikanmu Ummiku sayang. Kain kafan menunggunya hingga sang empu memakainya, kain yang akan menemaninya hingga ke peristirahatan terakhirnya.

Senyuman mentari menyapa kami yang sedang ditutupi awan mendung. Menunggu mobil jenazah yang akan membawa kami, dinaikan jenazah Ummiku ke dalamnya, lalu aku naik dan duduk berhadapan dengannya. Sepanjang perjalanan, ku perhatikan wajahnya yang tertutup kain, mengusap badannya, mengelus lengannya untuk terakhir kalinya. Tiba di rest area, segerombol sahabat Ummi datang untuk menemui dan menyolatkannya, setelah itu kami lanjutkan perjalanan menuju Tegal, tempat kelahiran dan tempat terakhirnya, kuburan keluarga. Sampailah kami di tujuan pukul 11:59 WIB. Di sambut oleh keluarga yang di sana, disholatkan dan langsung di kuburkan. Setelah menyantap makan siang, aku dan keluarga datang ke tempat peristirahatan terakhir Ummi, mendoakannya. Matahari mulai bersembunyi, bulan kembali menyapa, rasanya begitu cepat. Kulangkahkan kaki dengan beratnya menuju mobil dengan Tanteku, pulang meninggalkannya sendiri di sana. Duduk di samping tempat yang biasa di dudukinya, kini kusendiri. Tak terasa, tetes demi tetes air mengalir di pipiku, membanjiri hatiku yang penuh dengan kenangan bersamanya, mengobrak-abrik segala yang di dalamnya, hingga mata ini mulai lelah sehingga memutuskan untuk menutupnya. Sampailah di Bekasi pukul 03:30 WIB, pulang ke rumah Tanteku, rumah dengan sejuta kenangan di dalamnya, kulangkahkan kaki dengan berat tanpanya, melihat kursi rodanya, membawanya masuk lebih dalam hingga sampailah di kamar kami, adzan berkumandang meyampaikan pesan untuk sembahyang. Matahari masih malu-malu keluar dari persembunyiannya, saat itulah biasa aku menyuapinya, mengajaknya berbicara, indah suaranya terngiang jelas di telinga, senyum lembutnya, belaian tangannya, kini semua hanya bisa dibayangkan tanpa bisa dirasakan. Rindu yang tak berujung, tak lupa kukirimi do'a setiap waktu, mengharap tempat yang sama-sama kita rindu, Surga-Nya. Hari berganti bulan, Abiku datang menjemputku untuk tinggal bersama keluarganya. Ummi dan abiku sudah berpisah ketika aku masih sangat senang sekali bermain. Bahkan terkadang aku lupa, seperti apa wajah Abiku, melihat teman sebayaku yang selalu di antar kedua orang tuanya membuat hatiku sesak dan bingung, kemana orang tuaku? Seakan yang ku punya hanya Nenek dan Tanteku saja, bagaimana tidak? sejak perpisahan itu, aku tinggal bersama Nenek dan Tanteku. Anak kecil yang polos, yang tak mengerti apa-apa, hingga aku duduk di bangku SMP, saat itulah sedikit demi sedikit ku mengerti apa yang terjadi. Kini kupergi bersama Abiku, meninggalkan kota ini menuju kota kelahiranku, Garut. Kala matahari berdiri di atas kami, kala itu pula kami beranjak dari kota pahlawan ini. Meninggalkan kenangan yang ada, untuk memulai lembaran baru yang akan menyapa.

Hidup terus berputar, tidak melulu soal masa lalu. Seperti kita sedang mengendarai mobil, jangan melihat ke spion belakang terus-menerus, begitu pula jangan melihat ke kaca depan terus ketika berbelok, harus sama-sama menyeimbangkan, begitu kiranya hidup. Masa lalu dijadikan pelajaran untuk masa kini dan mendatang. Penyesalan selalu datang belakangan, sedangkan yang duluan namanya pendafttaran. Tidak ada gunanya penyesalan untuk yang sudah terjadi, jadikan pelajaran untuk mendaftar hidup yang lebih baik lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun