Mohon tunggu...
Alhawaris
Alhawaris Mohon Tunggu... Dosen - Bontang, Kalimantan Timur, Indonesia

Dosen FK Universitas Mulawarman

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kecerdasan Warisan Genetik Ibu?

21 Juli 2019   21:25 Diperbarui: 24 Juli 2019   20:21 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: marvelmozhko/pixabay

Sejumlah tulisan yang dimuat oleh beberapa artikel maupun media beberapa tahun terakhir ini memaparkan bahwa kecerdasan seorang anak kemungkinan besar diwariskan oleh ibunya. Bahkan, ada yang secara mutlak membenarkan hal tersebut, termasuk di kalangan yang berkecimpung dalam dunia medis atau berhubungan dengan biologi. Tentunya, pemaparan tersebut didasarkan  atas beberapa hasil penelitian maupun pendapat para ahli pada bidang tersebut. Di sisi lain, tak sedikit pihak yang masih meragukannya.

Dalam kehidupan era post-milenial sekarang pun, muncul semacam promosi di khalayak umum, khususnya ditujukan kepada kaum Adam yang tengah mencari sosok pendamping dalam kehidupannya. Kecantikan yang sejak lama oleh sebagian besar manusia dianggap sebagai prioritas teratas dalam menilai pesona kaum Hawa, kini mulai dipromosikan pada angka kesekian, digantikan posisinya oleh kecerdasan. Salah satu harapan besarnya adalah hadirnya keturunan-keturunan yang memiliki kecerdasan relatif tinggi yang diwariskan oleh ibunya yang cerdas. 

Apakah memang benar bahwa kecerdasan seseorang terkait erat denga kondisi genetik ibunya dan menjadi satu-satunya faktor penentu? Ataukah ada faktor lain yang lebih utama berperan dalam menentukan kecerdasan seseorang? Atau mungkin kecerdasan suatu keturunan dipengaruhi secara multifaktoral?

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh banyak referensi bahwa faktor genetik memang sangat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, baik fisiologis, struktural, maupun kimiawi. Kondisi tersebut bisa berdampak pada kemampuan kognitif (potensi intelektual) serta perilaku seseorang.

Sejak masih berbentuk zigot (fase awal perkembangan manusia sebelum menjadi janin) di dalam rahim (uterus) ibunya, manusia telah mewarisi separuh material genetik (genom) berupa kromosom dari masing-masing kedua orang tuanya. Seorang ayah mewarisi 22 jenis kromosom tubuh (autosom) dan 1 jenis kromosom kelamin (kromosom X atau kromosom Y). 

Sementara itu, ibunya mewarisi 22 jenis autosom dan 1 jenis kromosom kelamin (hanya memiliki kromosom X). Jadi, kondisi genetik seorang anak jelas dipengaruhi oleh kondisi genetik yang diwariskan oleh kedua orang tuanya, bukan oleh salah satunya saja.

Sekitar 46 tahun yang lalu, Robert Lehrke, seorang psikolog asal Minnesota mengungkapkan bahwa sebagian besar kecerdasan intelegensi pada anak bergantung pada kromosom X.

Menurutnya, wanita yang pada sel-sel tubuhnya secara normal memiliki 2 kromosom X ( pria hanya 1) dua kali lebih potensial mewarisi karakter intelegensi pada anak. Pada kasus lainnya, seperti penderita sindrom kerapuhan kromosom X menunjukkan adanya kemunduran kecerdasan intelegensi.

Namun hal ini justru bertolak belakang dengan seseorang yang mengalami kelainan jumlah kromosom X, misalnya sindrom triple-X. Penderita sindrom triple-X ini memiliki 3 kromosom X pada sel-sel tubuhnya.

Meskipun ketiga kromosom tersebut berbentuk normal, namun kelebihan jumlah tersebut justru menunjukkan tanda kelainan, salah satunya adalah penurunan kecerdasan intelegensi. 

Selain itu, pernah pula ditemukan wanita dengan sindrom dimana jumlah kromosom X nya lebih dari 3, seperti tetra-X (4 kromosom X) dan penta-X (5 kromosom X). Semakin banyak jumlah kromosom X yang dimiliki seseorang, justru semakin berkurang kecerdasan intelegensinya diiringi dengan gangguan mental.

Penelitian yang dilakukan oleh Robert Plomin mengungkapan bahwa intelegensi seseorang dipengaruhi oleh gen IGF2R yang berada pada lengan panjang kromosom 6. Komosom 6 jelas dimiliki oleh kedua orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.

Namun hasil penelitiannya tersebut juga banyak mendapat pertentangan dari para ahli. Sebelumnya terungkap bahwa gen IGF2R justru terkait erat dengan penyakit kanker hati.

Penelitian lainnya juga mengungkapkan keterkaitan kromosom 6 dengan kecerdasan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Posthuma dan Luchiano. Kedua peneliti tersebut bersama rekannya memperoleh hasil yang berbeda dimana gen yang mempengaruhi kecerdasan berada pada lengan pendek kromosom 6, bukan pada lengan panjang sebagaimana yang dipaparkan oleh Robert Plomin. 

Selain kromosom 6, mereka juga memperoleh hasil penelitian dimana kecerdasan dipengaruhi oleh gen yang terdapat pada lengan pendek kromosom 2.

Artinya, ada 2 kromosom yang mempengaruhi kecerdasan seseorang, yakni kromosom 2 dan kromosom 6. kedua kromosom tersebut tidak terdapat pada ibu saja, melainkan ayahpun juga berkontribusi untuk mewariskannya kepada anaknya.

Hingga kini, para peneliti masih terus berupaya mengungkap keterkaitan antara genetik dengan tingkat kecerdasan seseorang. Namun, kecerdasan tidak semata-mata disandarkan pada faktor genetika saja. Seseorang mungkin saja memiliki genetik yang mendukung tingkat kecerdasannya. 

Akan tetapi, apabila faktor lingkungan tidak memberikan ruang yang memadai, kecerdasan yang diwariskan tersebut juga tidak akan bermakna. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Matt Ridley dalam bukunya berjudul GENOM,"Gen kecerdasan tidak dapat bekerja dalam ruang hampa; mereka memerlukan rangsangan lingkungan untuk berkembang."

Kecerdasan pun kurang tepat apabila didasarkan dan dinilai atas kemampuan seseorang terhadap bidang-bidang tertentu semata sebab kecerdasan memiliki ruang lingkup yang luas.

Seseorang bisa saja cerdas pada bidang kalkulus, namun tidak menutup kemungkinan kecerdasan tersebut tidak menonjol pada bidang sosial, atau sebaliknya. 

Sebagai makhluk sosial, kitapun dituntut untuk bisa menghargai kecerdasan yang berbeda pada setiap orang dan tidak merendahkan tingkat kecerdasannya hanya karena tak mampu merespon dengan baik pada bidang keahlian yang kita tekuni dan miliki.

Tidak bijak rasanya menilai seekor gajah lebih bodoh dari seekor kera hanya karena gajah tersebut tak mampu memanjat pohon dengan lincah.  

Kecerdasan perlu didukung pula dengan jam terbang yang relatif tinggi untuk menjadikan seseorang ahli pada suatu bidang.

Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam usia yang relatif belia, seseorang akan dianggap expert pada suatu bidang karena faktor kecerdasan ditambah dengan jam terbang yang tinggi. 

Malcolm Gladwell yang mengenalkan kaidah 10.000 jam dalam bukunya OUTLIERS menggambarkan bahwa agar seseorang menjadi ahli, maka perlu melakukan kegiatan yang ditekuninya selama 10.000 jam. Bukan kecerdasan, hanya perlu pengulangan dalam kurun waktu tersebut agar seseorang menjadi ahli.

Berdasarkan kaidah Malcolm Gladwell yang sebenarnya ia kutip dari seorang peneliti bernama Anders Ericsson tersebut, jika seseorang yang tak memiliki kecerdasan pada bidang tertentu saja mampu menjadi ahli dengan latihan terus-menerus dengan mengambil banyak waktu, apalagi jika seseorang memang memiliki minat, bakat, dan kecerdasan dasar di bidang tersebut. 

Namun, pengulangan tersebut tetap harus terencana, terstrategi, dan terfokus dengan tepat sehingga keahlian yang dihasilkan bisa memiliki daya saing yang relatif tinggi. 

Terkait kecerdasan seorang anak yang diwariskan oleh ibunya, maka tak dapat disimpulkan secara mutlak bahwa ibulah yang lebih kuat pengaruhnya dalam mewariskan kecerdasan berdasarkan faktor genetik. Tentu saja ayahpun memiliki andil yang sama, meskipun mungkin memiliki persentase yang berbeda dari ibu.

Alasan mengapa ibu begitu kuat pengaruhnya dalam membentuk kecerdasan seorang anak adalah mungkin disebabkan faktor kedekatan ibu dengan anaknya sejak sang anak berada dalam kandungan hingga beranjak dewasa.

Waktu yang dihabiskan oleh seorang ibu kepada anaknya tentu jauh lebih banyak daripada seorang ayah yang memang memiliki kewajiban dasar menafkahi keluarganya. Ibu merupakan tempat seorang anak memperoleh informasi pertama tentang berbagai hal sebelum ia memperolehnya di luar. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang ibu membekali dirinya dengan berbagai khasanah ilmu dan pengetahuan yang kelak bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, namun juga untuk anak-anaknya.

Anak-anak berhak memperoleh informasi yang bermanfaat dari informan pertamanya sebagai bekal menjadi generasi penerus yang bisa diandalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun