Mohon tunggu...
Damara Puteri S
Damara Puteri S Mohon Tunggu... Penulis - Self healing by writing

Seorang ibu yang suka menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati dan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sandwich Generation dan Birrul Walidain

21 April 2022   15:24 Diperbarui: 21 April 2022   15:35 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut teori generasi yang dikemukakan oleh Graeme Codrington dan Sue Grant-Marshall, saya termasuk Generasi Milenial. Yakni generasi yang lahir pada rentang tahun 1981-1995.  Kemudian setelahnya disebut Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1996-2010. Itu berarti, pada tahun ini (2021) generasi saya berada pada rentang usia 26 hingga 40 tahun. Sedangkan Generasi Z ada di rentang usia 11 hingga 25 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa Generasi Milenial masuk dalam kategori usia produktif dan sebagian Generasi Z juga masuk kategori yang sama. Terkhusus mereka yang telah memasuki dunia kerja di rentang usia tersebut, sebagiannya juga telah berkeluarga. Bahkan ada yang sudah memiliki anak lebih dari satu atau dua. Pada realitas inilah mulai dihembuskan isu sandwich generation yang terdengar seperti sesuatu dengan makna negatif.

Apa itu sandwich generation? Singkatnya, sandwich generation adalah orang/pasangan yang memiliki dua tanggungan: orangtua dan anak. Tanggungan yang dimaksud di sini adalah tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan mereka dari segi financial. Entah bagaimana permulaannya, realitas ini seperti sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Sehingga menimbulkan gerakan dan/atau ajakan untuk memutus rantai sandwich generation. Seolah-olah orangtua yang kita bantu secara financial itu adalah sebuah beban berat, mengingat di sisi lain ada anak yang juga menjadi tanggungjawab kita.

Jika sebagian besar Generasi Milenial dan Generasi Z memiliki pemaknaan yang demikian, tentu masalah baru akan mucul satu demi satu. Salah satunya ialah mereka yang termasuk sandwich generation akan merasa dan menilai bahwa orangtuanya adalah beban berat bagi kehidupan financial yang ia miliki. Orangtuanya adalah sebab dirinya tidak bisa leluasa melakukan eksplorasi terhadap hal-hal yang ia minati. Orangtuanya adalah sebab dirinya tidak bisa leluasa meraih hal-hal yang menjadi ambisinya. Ini membuat saya tidak berani meneruskan potensi masalah apa yang akan terjadi pada orangtua yang anak-anaknya memiliki pemahaman mengerikan seperti itu.

Atas dasar kekhawatiran itulah saya hendak mengenalkan/mengingatkan teman-teman yang merasa termasuk sandwich generation tentang konsep birrul walidain. Inti dari konsep tersebut adalah memandang orangtua sebagai orang yang amat penting dan berjasa dalam sepanjang catatan sejarah hidup kita. Adakah yang berargumen, "Saya tidak minta dilahirkan!" atau "Orangtua saya tidak peduli pada saya bahkan sejak saya dalam kandungan!"? Jika ada dan memang kenyataannya demikian, saya minta maaf. Tetapi sependek yang saya tahu, semua agama Tuhan memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orangtua. Sependek yang saya tahu dari pelajaran hidup ini adalah barangsiapa berbuat baik kepada sesama manusia adalah sebaik-baik manusia yang Tuhan sukai. Sedangkan memaafkan orang yang telah berbuat jahat pada kita adalah perbuatan yang lebih mulia.

Intinya, saya kurang sreg dengan istilah dan pemaknaan sandwich generation yang digaungkan di berbagai media belakangan ini. Tidakkah kita bisa merasa lebih legowo untuk memilih memaknai bahwa orangtua kita berhak mendapat perlakuan terbaik dari anak-anaknya? Saya yakin, ada banyak orangtua yang sesungguhnya tidak ingin menjadi beban anak-anaknya. Namun kondisi fisik yang semakin melemah, perasaan sepi, perasaan tak berdaya, kelemahan financial dan bahkan menghadapi perasaan bahwa "waktunya telah dekat". Kepada siapa lagi orangtua kita akan berharap? Semoga Tuhan memberkahi mereka yang berbakti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun