Mohon tunggu...
Damara Puteri S
Damara Puteri S Mohon Tunggu... Penulis - Self healing by writing

Seorang ibu yang suka menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati dan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Adopsi Spirit Doll

20 April 2022   15:42 Diperbarui: 20 April 2022   15:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena sosial yang sedang hangat-hangatnya: perilaku mengadopsi boneka arwah atau biasa disebut spirit doll di kalangan masyarakat tertentu di Indonesia. Pembicaraan boneka arwah belakangan ini mulai merebak ketika beberapa selebritis tanah air mengumumkan "anak asuh" baru mereka melalui media sosial. Rasa penasaran saya membuncah dan mendorong untuk melakukan penelusuran melalui Instagram. Wow, dari situ saya menemukan fakta bahwa beberapa orang yang non-selebritis pun ada yang mengadopsi boneka arwah itu. Mengingat "mahar" untuk sebuah boneka arwah terbilang mencapai jutaan rupiah. Namun, ada yang lebih membuat saya "WOW". Yaitu berbagai testimoni para adopter yang dipublikasi oleh salah satu "pebisnis" boneka arwah ini.

Beberapa testimoni menyebutkan bahwa sejak boneka arwah ini diadopsi, para adopter meyakini adanya perubahan baik yang signifikan terjadi pada dirinya. Banyak dari mereka seperti merasa diingatkan untuk lebih bersabar, menahan amarah, bekerja lebih giat, berdamai dengan diri maupun orang lain, bahkan ada yang menyebutkan dirinya menjadi lebih religius (lebih giat beribadah kepada Tuhan). "Tunggu dulu", seolah logika saya berkata demikian. Mengapa perilaku mengadopsi boneka arwah ini perlu diangkat di sini? Apa pentingnya?

Begini, saudara/i yang saya hormati. Di negara ini tidak ada aturan atau hukum yang melarang seseorang untuk mengadopsi, memelihara, dan merawat boneka arwah sebagaimana mereka memelihara dan merawat anak manusia. Tidak ada larangan begitu di sini. Tetapi, jika seseorang memiliki lebih dari mampu --secara ekonomi-- untuk mengadopsi sebuah boneka arwah yang harganya jutaan rupiah, memberikan mereka pakaian-pakaian yang baik, dan bahkan mendoakan arwah anak kecil yang diyakini bersemayam di dalam boneka tersebut agar tenang dan dapat kembali kepada Tuhan. Maka bukankah lebih mulia memelihara dan merawat jiwa anak manusia yang --syukurlah--  masih dikandung badan mereka masing-masing (red: hidup)? Bahkan, sependek yang saya tahu, semua agama Tuhan sangat memerhatikan kelestarian hidup manusia. Itulah mengapa banyak lembaga dan organisasi amal yang didirikan dengan tujuan membantu memelihara hidup saudara sesama manusia yang kehidupannya lebih sulit.

Di Indonesia saja masih banyak anak-anak yang mengalami stunting. Kurang gizi. Browsing di Google dan Anda akan temukan sebuah kampung yang dikenal dengan sebutan Kampung Idiot di sebuah desa di Kabupaten Ponorogo. Banyak warganya yang mengalami keterbelakangan mental. Down syndrome sejak lahir tanpa disertai pendidikan yang relevan dengan keadaan mereka. Realitas itu sangat dekat jika pembaca adalah warga Kota Madiun. Belum lagi kondisi masyarakat di daerah pelosok lainnya yang bisa jadi belum terekspos. 

Mungkin, harta dan kekayaan terlalu menyilaukan mata hati untuk melihat kondisi saudara sesama manusia yang lebih membutuhkan perhatian kita. Mungkin, sebuah boneka arwah yang menggemaskan terlalu menawan hati sehingga menyisihkan sedikit saja rasa empati dan peduli kepada mereka yang hidup kekurangan. Bagaimanalah ini? Jika semakin banyak rakyat Indonesia yang lebih memilih untuk menyejahterakan boneka arwah dibandingkan menolong sesama manusia (hidup)? Ke mana rasa kemanusiaan itu pergi? Boneka membuat kita lebih taat kepada Tuhan? Ketaatan macam apa yang membuat kita enggan mengulurkan tangan, mengurangi penderitaan sesama manusia dan lebih memilih boneka arwah untuk dirawat-dipelihara? Oh Tuhan. Semoga ini hanya satu-dua cerita yang viral lantas terlupakan dan bukan menjadi the new lifestyle of Indonesia's rich people.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun