Mohon tunggu...
Hafid Algristian
Hafid Algristian Mohon Tunggu... Dokter - Psikiater. Temen ngobrol.

Psikiater, Urban Mental Health. Temen curhat plus ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Haruskah Kita Menghindari "Toxic Person"?

20 Desember 2018   06:37 Diperbarui: 20 Desember 2018   08:41 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.nuffieldhealth.com

Sebuah polling twitter digagas oleh adik kelas saya @CallMeHilmy tentang sikap Millennials terhadap teman-temannya yang toxic. Teman yang toxic disebutnya sebagai teman yang "membicarakanmu di belakang diam-diam, menjulingkan mata bila kami bicara, atau "mlengos". Persoalan yang diangkat dalam polling tersebut, "Jika di dalam circle kalian mempunyai teman yang toxic, untuk berdamai dengan diri sendiri, apa yang kalian lakukan?"

Sebanyak 88% responden menjawab "Jauhi", dan sisanya memilih "Dekati". Benarkah menjauhi adalah sikap yang tepat untuk membuat diri kita berdamai terhadap toxic person tersebut?

Sabrina Michele Maxwell menyebutkan dalam disertasinya bahwa toxic behavior ditandai oleh perilaku "menyebalkan" yang cenderung memancing konflik antar pihak. Maxwell menjajarkan toxic behavior dengan 3 ciri kepribadian patologis yang biasa disebut "karakter gelap" atau dark triad, yakni narsisisme, psikopatik, dan machiavellianisme.

Narsisisme dalam hal ini adalah sosok yang angkuh, senang membanggakan diri, mudah akrab dan senang berkelakar, di saat yang sama, ia rapuh dan sensitif. Kata orang Jawa, sindrom SBC, alias "senggol bacok". Ia mudah tersinggung dan agresif.

Psikopatik adalah sosok yang tidak punya belas kasihan kepada orang lain, brutal dan provokatif. Ia jarang menimbang konsekuensi etika akan perilakunya, dan cenderung mengambil tindakan beresiko tinggi (risk taking behavior).

Sementara machiavellianisme sering diidentikkan dengan sosok yang "licin" seperti ular, menjilat ke mana-mana, jago "ngelobby" demi keuntungan diri sendiri. Ia terkesan pandai, namun banyak kecurangan-kecurangan dalam organisasi (corporate fraud) disebabkan orang-orang seperti ini.

Artikel yang ditulis Adrian Furham dkk menyebutkan bahwa tak jarang toxic person memiliki lebih dari satu karakter. Tiga karakter tersebut bercampur dengan kadarnya masing-masing. Jika membaca kembali deskripsi @CallMeHilmy dalam polling-nya, maka toxic person yang ia maksud kemungkinan didominasi oleh karakter machiavellianism.

Sayangnya, jika dalam kadar yang cukup (atau sengaja tampak cukup), karakter-karakter ini justru membuat mereka sukses dalam pekerjaan. Klaus J. Templer dalam artikelnya menyebutkan adanya "indirect chain" antara "karakter gelap" itu dengan peningkatan karir.

Mereka dengan "karakter gelap" justru memiliki kemampuan politik yang alami. Kemampuan politik inilah yang membuat mereka tampak cemerlang di tempat kerja padahal prestasinya biasa-biasa saja. Orang lain bisa hilang obyektivitasnya gara-gara mereka.

Mempertimbangkan beberapa hal di atas, maka mendiamkan atau menjauhi justru merugikan diri kita sendiri. Memang sih, hidup kita damai. Tapi, apakah kedamaian itu selamanya? Cepat atau lambat, trik-trik muslihat mereka pasti berdampak pada karir dan kehidupan kita.

Mendiamkan dan menjauhi justru memberikan angin segar bagi mereka, karena kita cenderung membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka mau. Satu-satunya jalan ya, fight back. Lawan dengan cara yang elegan, dan jangan ikut-ikutan terprovokasi. Malah reputasi kita yang jatuh karena terpancing emosi.

Mereka cerdas, tapi kita tidak kalah cerdas. Perbaiki sistem pengawasan yang ketat di kantor. Jalinlah jejaring pertemanan yang luas. Bangun reputasi kita dengan prestasi, dan tidak boleh malu-malu untuk menunjukkan prestasi kita.

Kita sendiri juga harus konsisten. Sistem pengawasan itu juga harus kita taati. Menjalin pertemanan yang luas juga perlu dirawat dengan silaturrahim. Prestasi yang dicapai juga bukan karena jalan pintas. Untungnya, di zaman now ini kita punya banyak platform untuk membangun prestasi dan memperbanyak kontribusi.

Tidak usah menjauhi orang-orang dengan "kepribadian gelap" itu. Dekati saja, dan "tampar" mereka dengan prestasi kita.

Setuju?

Hafid Algristian, dr., SpKJ 
Psikiater RS Islam Surabaya Jemursari
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Sumber: 

[1] S. M. Maxwell, "An Exploration Of Human Resource Personnel And Toxic Leadership," Walden University, 2015.

[2] A. Furnham, S. C. Richards, and D. L. Paulhus, "The Dark Triad of Personality: A 10 Year Review," Soc. Personal. Psychol. Compass, vol. 7, no. 3, pp. 199--216, 2013.

[3] K. J. Templer, "Dark Personality, Job Performance Ratings, And The Role Of Political Skill: An Indication Of Why Toxic People May Get Ahead At Work," Pers. Individ. Dif., vol. 124, pp. 209--214, Apr. 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun