Mohon tunggu...
Nur Alfyfadhilah Rusydi
Nur Alfyfadhilah Rusydi Mohon Tunggu... Guru - Mami Guru

Seorang ibu rumah tangga sekaligus ibu guru yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inklusi dan Kesiapan Sekolah di Daerah

10 Desember 2020   21:15 Diperbarui: 11 Desember 2020   08:39 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang pendidik, tentunya kondisi anak dalam proses pembelajaran menjadi perhatian saya. Sepanjang karir saya di dunia pendidikan, saya telah mengajar di beberapa sekolah yang ada di daerah kelahiran saya. Berbagai macam kondisi dan karakter yang saya temui, menuntut saya untuk mencari solusi.

Suatu ketika, di tahun ajaran baru saya dihadapkan dengan  anak  yang memiliki keterbatasan dibandingkan anak seusianya, hal serupa juga pernah saya temui beberapa tahun lalu ketika baru saja memulai langkah saya sebagai seorang guru, tapi tentunya  dengan kasus yang berbeda. 

Awalnya saya menganggap anak yang saya hadapi ini adalah  anak berkebutuhan khusus, dengan kondisi tidak dapat membaca, kemampuan menulis yang kurang, tangan yang tak mampu memegang pulpen dengan benar, beberapa gejala keterbatasan kemapuan motorik, dan tidak dapat berbicara dengan begitu jelas.

 Setelah saya mengkomunikasikan lebih lanjut dengan teman saya yang kebetulan berprofesi sebagai seorang psikolog sekolah, ternyata saya menyimpulkan bahwa terlalu dini untuk memberikan diagnosa bahwa anak tersebut seorang anak berkebutuhan khusus. 

Saya kemudian mengobservasi lebih lanjut dan mengupayakan apa yang saya bisa untuk memberikan pelayanan  pendidikan kepada anak tersebut tapi saya merasa gagal, asumsi saya karena kemampuan motoriknya yang kurang sehingga berpengaruh pada kognitifnya. 

Berada di kelas tinggi membuat dia seperti tidak dapat berbuat apa-apa, kemampuan dasar berhitung dan membaca pun belum dikuasainya. Apa yang saya dapat lakukan jika hanya setahun bersama dia? 

Saya sampai di titik reflektif bahwa ada hal yang tidak bisa saya tangani sendiri tanpa bantuan ahli atau profesi psikolog sekolah. Anak  didik saya tersebut sudah berada di kelas tinggi sekolah dasar, memang seharusnya dia ditangani lebih awal. 

Tapi, apalah daya kami guru-guru yang berada di daerah terlebih lagi di sekolah dasar, jangan kan meminta pelayanan kepada psikolog sekolah, guru bimbingan konseling juga tak ada di sekolah dasar.

Beberapa sekolah di daerah menghadapi kondisi yang serupa, bahkan yang lebih parah jika yang diterima anak berkebutuhan khusus dan terlambat didiagnosa. Kalaupun sudah diketahui lebih awal bahwa anak tersebut berkebutuhan khusus, bisa jadi pihak sekolah dasar umum tidak akan tega untuk menolak, karena Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sangat minim jumlahnya. 

Bahkan di lokasi kecamatan sekolah tempat saya mengabdi tidak ada satu pun SLB. Tapi, apakah kami pendidik di daerah siap untuk menerapkan pendidikan inklusi dengan tenaga kependidikan yang terbatas?

Saya dengan tegas mengatakan bahwa kami butuh bersinergi dengan psikolog sekolah atau pun pihak-pihak yang bisa mendukung proses pendidikan dengan kondisi inklusi, karena pendidikan adalah hak setiap anak apapun keadaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun