Cairan putih susu itu muncul di ujung kehidupannya. Cairan berlendir yang mengingatkan aku pada sebuah janji terucap dulu itu.
"Setelah ini, aku akan menikahimu, secepat yang aku bisa". Perkataan itu selalu terngiang di otakku.
"Apakah dia tidak berpikir untuk kenikmatan ini? Apakah dia tidak ingin membayar untuk kesuksesanku menjadikannya lelaki sejati? Lalu, apakah yang harus aku jawab?" Kemudian aku hanya diam.
Tertegun menyaksikan peluh yang bertabur di antara wajah dan seluruh tubuhnya. Dia selalu menikmati ini. Detik demi detik dirasakannya penuh cinta tanpa setetes kebencian. Aku tidak pernah mengerti.
Sudah berulang kali, ya. Aku tidak pernah mengerti dan tetap tak bisa merasakan fantasinya. Jutaan bayangan yang menghiasi langit, ribuan lampu bergemerlapan, jeritan buas dari para pelayan, dan raungan takut ataupun kenikmatan dari para pelanggan. Semua itu kudengar dalam satu tarikan nafas. Entah bagaimana cara dia melakukannya. Jelas aku tidak pernah mengerti.
Cairan itu kembali keluar. Dia seolah tidak ingin lagi berada di dalam kehampaan sang empunya. Ataukah, dia kesepian?
Nafasnya terengah, hampir terputus, dan tidak terdengar. Tubuhnya lunglai tidak lagi berdaya. Aku melihat ada raut ketakutan di sudut matanya. Namun, dia pandai menutupi keadaan. Pancaran senyum selalu dibuangnya melalui celah tipis bibir indah itu.
Tidak lama, aku mencari kehidupanku sendiri. Kehidupan yang baru beberapa hari ini kutemukan di tumpukan nyawanya. Ku sulut sebatang dan ku hisap dalam-dalam. Aku merasa tenang sejenak. Tubuhku mendapatkan apa yang ia inginkan. Kekuatan.
Aku rindu pada jiwaku di depan pelukan sang Dewa. Dia selalu mengerti aku bukan seperti sang empunya ini. Dewa seolah yakin setiap kali hendak menggahiku. Dia tersenyum pantas sambil membawa sebongkah permata di hadapanku. Aku sudah pasti tersenyum. Dia selalu datang tidak terduga. Tidak pernah tertinggal pesananku, sebuah kehangatan berbalut kemesaraan.
Kali ini sama, dia memelukku dari belakang dengan kecupan di pipi kanan. Selalu kanan, seperti tidak ada tempat lain yang ingin dicobanya. Dia datang tidak dengan nafsu. Bukan pula hasrat. Tetapi kedamaian.... Maka, aku sebut dia Dewa. Sang pemilik jiwa.
Di luar, hujan belum selesai. Sang hujan masih ingin bercumbu dengan bumi. Dingin yang dirasakan penghuni bumi tidak berarti apapun bagi kemesraan mereka. Dia datang hanya beberapa hari sekali di luar musim hujan. Namun kini, dia datang hampir setiap hari. Dia gagah sekali mencumbu sang bumi.