Mohon tunggu...
alfred tuname
alfred tuname Mohon Tunggu... -

Menulis bagiku adalah sejenak berhenti pada sebuah pendakian. Melihat kembali capaian-capaian pada rentang yang telah dilalui. Banyak kisah yang sudah terjadi membentuk rangkaian sejarah. Sejarah memberi tumpuan anak tangga berikutnya untuk pendakian lebih lanjut. Di sana terdapat pelajaran, juga kritikan untuk tumpuan yang retak. Dan kata adalah roh dalam penubuhan pencapaian sejarah yang tak bertitik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Enu Ge

13 Agustus 2010   21:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

-terinspirasi dari seorang teman

Cinta mungkin hanyalah seperangkat rasa yang muncul dari entah berantah. Ia terus saja terjinjing dalam sekelumit hidup manusia. Seperti obat penenang, ia merangkak masuk untuk membuat manusia tetap nyaman "dikelabui" tetapi juga bisa membuat sadar eksistensi. Tetap rasanya tergantung pada situasi manusia itu sendiri. Dan manusia tidak bisa memilih opsi untuk tidak menelan pil itu.

Pil itu jualah yang membuatku terbenam di remang malam. Aku menyudut di pojok kota. Menyaksikan embun yang bernafas pada lapisan daun. Kuncup tunas belum berespirasi. Ia menanti cubitan sinar mentari membuka mulutnya untuk berfotosintesis. Aku sudah bangun meski sebangsa aves belum berkokok. Termenung pada bingkai wajah yang diabadikan potret. Ia tersenyum di balik sinar komputer. Amboi, manis sekali. Rambut ikal panjang dengan barisan gigi yang rapi.

Le soleil brille. Lalu ayunya sinar pagi menusuk kaca jendela. Berbaur bersama cahaya lampu kamarku. Fototaksis tubuhku menandakan hari sudah pagi. Kuseduh segelas kopi hitam penghangat internal tubuh. Habitus orang Manggarai yang lazim. Ius sanguinis, aku orang Manggarai. Ius soli apa lagi, aku orang Manggarai. Gelas jiwaku sudah penuh dengan nilai-nilai Manggarai dan kultur Manggarai mengental dalam jiwa dan ragaku. Itu sekental kopi Manggarai yang menisbikan manisnya gula tebu. Kopi juga memelekkan mata hingga lebih terang melihat sebingkai wajah di depanku.

"siapa kau, sebenarnya?", aku bertanya dalam monolog dialogis. Aku belum mengenalnya. Sementara baru mau mengenalnya. Bukan liak-liuk tubuhnya, tapi geliat jiwanya. Rasa dalam sanubarinya. Sepintas tanya, ia baik dan sederhana. Dunia adalah perhiasan, sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan yang baik dan sederhana. Ini tesis sementara yang tampak dari kesan mata. Dari mata, rasa tertarik berbondong-bondong turun ke genangan hati. Rasa itu muncul sebab keindahan personanya. Dialah titisan syair Sophocles. "Ada begitu banyak keindahan di dunia ini, tapi tidak ada yang seindah manusia". Indahnya rokok yang sering menempel di bibirku tak sebanding dengan indah sosoknya. Seorang enu yang sedang berselimut di nuca lale.

Ada forma-forma khusus terbentuk di dataran wajahnya. Ia tampak bercahaya di mataku. Cahaya yang tidak semua orang mampu melihatnya. Seolah dia termanis di antara femmes à nuca lale. Cahaya itu menjadi meterai yang menguatkan fortissimo rasa tertarikku padanya. Keinginan itu merobek fortikasi diri untuk tetap diam. Attende m'ennuie. Meski berat tapi harus tetap kuat walau orang berkata, "C'est facile! Kalimat pembuka dalam proses itu adalah "hai enu, co'o kreba?". Terkesan naif, tapi aku harus memulainya. Ia tidak menjawabku dengan peri bahasa diam. You don't say the best when you say nothing at all. Ia menyambutku dengan bahasanya sendiri. Hmmm, ça me va. Bahasanya coba untuk kupahami. Selanjutnya biarlah ia sedang mekar.

Ku pilih jalanku sendiri untuk masuk dalam dunianya. Dunianya yang sebelumnya tak pernah kuketahui. Maintenant, elle est occupée. Sekarang, Ia sibuk. Atau mungkin sedang berbicara sendiri. Membiarkan suara syahdunya melayang seperti les oiseaux s'envolent. Lalu membiarkan orang-orang memasgyulkan pujian atasnya orasinya. Kedatanganku bukan hama wereng yang mengganggu mekarnya sekuncup bunga. Aku hanya ingin menawarkan jeda dalam frekuensi hidupnya. Aku ingin mengajaknya bukan ke bukit bintang tapi ke taman. Taman cinta. Amboi. Tranquillement se promener dans le parc lui fait rêver. Lamunan yang membuatnya mampu memproyeksi hidupnya di masa depan yang berlaksa kejutan. Lalu membiarkan apa yang terjadi. Que sera, sera!

Proyeksiku, kau adalah perempuanku, enu ge. Rusuk dari rusukku. Tulang dari tulangku. Ketika hidup adalah alfa dan omega, alif dan ya, bukankah di tengah-tengahnya ada Mazmur dan Al Hatib? Dan dari rentang genesis hingga apokalipis hidupmu, izinkanlah aku menyanyikan mazmur percintaan untukmu. Dan dalam doa "Pater Noster" kutitipkan epilog "ya Abba, semoga nous nous aimons". Dalam monolog, aku menyerukan pada diriku sendiri, "Dominus te cum, Allah maakum". Keyakinan ini terkesan absurd. Tapi, credo quia absurdum. Aku percaya pada keabsurditasnya.

Dalam sementara itu, alat komunikasiku berdering meminta sebuah pembicaraan. Dan ternyata seorang yang kukenal dan dekat denganku. Sesorang perempuan yang penah mencuri perhatianku. Dulu. Aku menyukainya dan ia membalasnya dengan mengulur-ulur waktu. Kutinggalkan, sebab ia membuatku seperti asap rokok, dihirup lalu dilepas. Padahal rokok sedang mengalami inflasi. Di akhir cerita, kuucapkan "adieu!", "adios amogos". Mungkin selamat tinggal untuk selamanya. Atau mungkin seperti kata pemeran Trevor dalam film "Pay It Forward", "sesuatu mungkin saja terjadi tetapi sudah terlambat". Kita berteman saja tanpa suku kata mesra.

Aku punya pilihan lain. Di sana ada ruang, ada stimulasi dan ada tanggapan. Aku begini sebab aku adalah produk dari pilihanku sendiri. Pilihanku ada pada perempuan yang sementara ini hadir sebagai perhiasan dalam hati dan pikiranku. Enu yang "le nera n'tala one rangan" menuntun hayalku kepadanya. Hic et nunc. Dan aku membiarkan pil ini tertelah dalam hidupku. Aku pun tidak memaksanya, jika demikian aku menjadi terdakwa atas nama cinta. Kubiarkan semua mengalir. Pelan-pelan saja. "Penta rhei, kai ouden menei", demikian kata Heraclitos. Hingga bendara putih diangkat jika dead lock.

Dalam bernafas harapan selalu ada. Bersama harapan itu aku masuk ke hidupku hari ini. Mengerjakan apa yang harus dikerjakan hari. Dan kejenuhan rutin mengajak hasratku untuk melihat senyum itu lagi. Enu ge, kau adalah sekotak kamputer laptop. Biarkanlah aku membukamu hingga kutahu isinya. Rasa ini real bukan hantu. Je t'ai donné tout ce que j'ai. Syair lagu "Cebong" Edi Ngambut menuntunku untuk bilang, "...pisa ket paca enu e...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun