Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[pendidikan] Penyesalan

18 September 2025   21:00 Diperbarui: 18 September 2025   21:21 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan qwen AI, dokpri)

PENYESALAN

Kaja - Jakarta, 2025

Kaja menatap layar laptopnya. Lagi-lagi, email penolakan. "Terima kasih atas lamaran Anda. Kami memutuskan kandidat lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan tim." Kalimat itu sudah ia baca tujuh belas kali dalam tiga bulan terakhir. Tujuh belas kali hatinya teriris, tujuh belas kali ia bertanya: Kenapa?

Ia lulus SMA dengan nilai cukup. Rapornya rapi, ijazahnya sah. Guru-guru bilang, "Kamu naik, karena sistem sekarang memastikan semua anak punya hak untuk maju." Orang tuanya lega. Teman-temannya yang rajin belajar? Mereka masuk PTN, dapat beasiswa, bahkan sudah magang di perusahaan multinasional sejak semester tiga. Kaja? Ia dulu lebih sering nongkrong di warung kopi depan sekolah daripada di kelas. Tugas dikumpulkan asal jiplak. Ujian? "Nanti juga dikasih nilai minimal, biar naik," begitu pikirnya dulu.

Tapi sekarang, dunia tak peduli dengan nilai rapor. Dunia bertanya: Bisa apa kamu?

Di wawancara terakhir, pewawancara bertanya, "Bisa jelaskan bagaimana kamu menganalisis data sederhana pakai Excel?" Kaja diam. Ia pernah diajari, tapi ia bolos hari itu. "Kalau ada konflik di tim, bagaimana kamu menyelesaikannya?" Kaja gelagapan. Ia tak pernah ikut diskusi kelompok, selalu titip absen. "Apa yang membuatmu unik?" Kaja ingin menjawab, "Saya lulus tanpa belajar," tapi ia tahu, itu bukan keunikan. Itu aib.

Ia menutup laptop. Matanya basah. Di dinding kamarnya, masih tergantung foto kelulusan, senyum lebar, toga miring, wajah penuh kemenangan palsu. Ia menangis. Bukan karena ditolak kerja. Tapi karena sadar: ia sudah ditipu oleh sistem yang membiarkannya lulus tanpa pernah benar-benar belajar.

Sani - Surabaya, 2025

Sani duduk di bangku taman kota, memeluk tas kerjanya yang kosong. Ia baru saja di-PHK dari pekerjaan ketiganya dalam setahun. Bukan karena malas. Bukan karena tak disiplin. Tapi karena ia tak mengerti apa-apa.

"Kamu kok nggak paham basic marketing funnel? Ini kan materi SMA," kata atasannya sebelum memecatnya. Sani hanya bisa menunduk. Ia ingat pelajaran Ekonomi dulu, ia lebih sering tidur di kelas atau kabur bareng pacar ke mall. Nilai akhirnya? 76. Cukup untuk lulus. Cukup untuk membuat semua orang bilang, "Wah, Sani anak pintar, ya?"

Tapi sekarang, "pintar" diukur dengan kompetensi, bukan angka di kertas. Ia tak bisa presentasi. Tak paham analisis SWOT. Bahkan menulis email profesional pun ia grogi. Di kantor, ia sering diam. Takut salah. Takut ketahuan bahwa ijazahnya cuma kertas tanpa isi.

Ia menatap langit sore yang memerah. Di kepalanya, terputar-putar suara ibunya dulu: "Yang penting kamu lulus, Nak. Nanti juga dapat kerja." Tapi ibunya tak tahu, bahwa "lulus" bukan lagi jaminan. Dunia kerja tak mengasihani. Dunia kerja menghargai yang bisa, bukan yang pernah duduk di bangku sekolah.

Ia menangis tersedu-sedu. Di tangannya, ia memegang rapor SMA-nya, masih tersimpan rapi dalam map plastik. Nilai Matematika: 70. Nilai Bahasa Inggris: 75. Nilai IPA: 72. Semua "cukup". Tapi cukup untuk apa? Cukup untuk membuatnya percaya diri palsu? Cukup untuk menipunya bahwa ia siap menghadapi dunia?

Pertemuan Tak Terduga - Bandung, 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun