Pena yang Mengubah Takdir
Di ujung pena, mimpi menari,
Kata-kata lahir, membelah sunyi,
Setiap baris, jalan menuju abadi.Â
Tulisan adalah benih di ladang waktu,
Tumbuh jadi harta, tak lekang pilu,
Dari jemari, dunia kau taklukkan semu.Â
Jangan ragu, biar pena bernyanyi,
Cerita dan ilmu, di hati menyemi,
Menulislah, jadilah legenda abadi.Â
Di tepi hutan tak bernama, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Rumahnya sederhana, atapnya bocor saat hujan, dan mimpinya besar namun terasa jauh. Setiap malam, di bawah lampu minyak yang redup, Arga menulis di buku catatan tua yang ia temukan di loteng rumah neneknya. Ia menulis tentang petualangan, tentang harapan, tentang dunia yang ia impikan, dunia yang jauh dari kemiskinan dan keterbatasan.
Arga bukan penulis hebat. Tulisannya sederhana, kadang penuh coretan karena salah ketik atau ide yang mengalir terlalu cepat. Tapi ia punya sesuatu yang tak dimiliki banyak orang: keberanian untuk bermimpi melalui kata-kata. "Kalau aku tak bisa pergi ke dunia itu, biar kata-kataku yang membawaku," gumamnya suatu malam, sambil menatap bulan purnama di luar jendela.
Suatu hari, Arga mendengar tentang platform digital bernama Amazon Kindle Direct Publishing dari seorang teman yang baru pulang dari kota. "Kamu bisa menerbitkan buku tanpa biaya, Arga! Tulisanmu bisa dibaca orang di seluruh dunia!" kata temannya dengan mata berbinar. Arga ragu. Ia hanyalah anak desa, yang sekolahnya cuma sampai SMA, dan laptopnya pun pinjaman dari perpustakaan komunitas. Tapi ada api kecil di dadanya yang tak mau padam. Ia mulai menulis sebuah cerita tentang seorang anak desa yang menemukan harta karun bukan dari emas, melainkan dari keberanian dan imajinasi.
Prosesnya tak mudah. Arga menulis di sela waktu kerjanya sebagai buruh tani. Ia belajar sendiri cara mengedit naskah, membuat sampul sederhana dengan aplikasi gratis, dan memahami cara kerja platform digital. Ketika ia akhirnya mengunggah e-book pertamanya, Harta di Bawah Bintang, jantungnya berdegup kencang. "Mungkin tak ada yang baca," pikirnya, bersiap kecewa.
Tapi dunia punya cara sendiri untuk menghargai usaha. Beberapa minggu kemudian, Arga mendapat notifikasi: seseorang di Jakarta membeli bukunya. Lalu, seseorang di Singapura. Kemudian, seorang guru di Australia mengirim pesan, mengatakan ceritanya menginspirasi murid-muridnya. Royalti kecil mulai mengalir ke rekeningnya, pertama hanya cukup untuk membeli beras, tapi lama-kelamaan cukup untuk memperbaiki atap rumahnya yang bocor.
Arga tak berhenti. Ia terus menulis, kali ini tentang kisah-kisah rakyat desanya, tentang kearifan lokal yang ia pelajari dari para tetua. Ia juga mulai aktif di media sosial, berbagi proses kreatifnya dengan gaya sederhana namun tulus. Pembaca mulai mengenalnya sebagai "penulis dari desa yang membawa cerita hutan ke dunia." Personal brand-nya lahir dari kejujuran dan ketekunan, bukan dari kepura-puraan.