Rumah Subsidi 18 Meter Persegi: Solusi atau Masalah Baru untuk Kaum Muda?
Bayangkan kamu, seorang anak muda di usia produktif. Punya pekerjaan tetap, mulai berpikir menabung untuk masa depan, dan ingin punya rumah sendiri. Tapi kemudian kamu disodori pilihan: sebuah rumah subsidi dengan luas hanya 18 meter persegi, setara dengan kamar kos yang agak lega.
Mendengar angka itu, mungkin kamu langsung bertanya: "Apa nggak sempit banget? Apa layak ditempati?"
Sejak awal tahun 2025, pemerintah tengah membahas rencana pengurangan ukuran minimal rumah bersubsidi dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi. Tujuannya baik: agar lebih banyak masyarakat bisa memiliki rumah dengan harga terjangkau. Namun, kebijakan ini justru memicu perdebatan sengit, terutama di kalangan generasi muda.
Rumah Kecil = Harga Murah?
Secara ekonomi, ide ini masuk akal. Dengan mengurangi luas bangunan, biaya pembangunan bisa turun, sehingga harga jual rumah bisa lebih rendah. Saat ini, rata-rata rumah subsidi berkisar antara Rp108--120 juta. Dengan skema KPR FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), cicilan bulanan bisa dimulai dari Rp600 ribu selama 20 tahun, sangat ramah untuk gaji UMR.
Namun, apakah murah berarti layak?
Dalam dunia arsitektur dan psikologi lingkungan, ukuran ruang bukan sekadar soal angka. Ia berkaitan erat dengan kenyamanan, privasi, dan bahkan kesehatan mental penghuni. Menurut SNI, setiap orang dewasa butuh minimal 9 meter persegi untuk hidup layak. Artinya, rumah 18 meter persegi hanya ideal untuk dua orang tanpa anak.
Bagi milenial dan Gen Z yang sedang merencanakan keluarga, opsi ini terdengar seperti jebakan bonus. "Kalau cuma 18 meter persegi, rasanya kayak tinggal di kontrakan lama," kata Lika Wakhid, seorang profesional muda di Jakarta.
Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, juga menyebut bahwa desain sekecil ini bisa menciptakan "kampung kumuh baru" jika tidak dikelola dengan baik.