Rumah Impian atau Beban Bertahun-Tahun?Â
Mengapa Banyak Anak Muda Ragu Ambil KPR dan Apa Ekspektasi Mereka pada Rumah Subsidi? Bisa jadi merupakan pertanyaan yang membebani anak-anak muda ketika hendak mengambil KPR atau rumah bersubsidi yang ditawarkan pemerintah.
Mari kita lanjut dengan pertanyaan sederhana tapi sering kali membuat banyak anak muda menghela napas: "Kalau punya penghasilan Rp4-7 juta per bulan, berani ambil KPR?" Di tengah harga properti yang terus meroket dan pengeluaran hidup yang makin menekan, kepemilikan rumah justru terasa seperti mimpi yang makin menjauh.
Anak Muda dan Keraguan KPR: Antara Logika dan Mimpi
Banyak milenial dan Gen Z yang kini berada di rentang usia 25--35 tahun memilih untuk tidak buru-buru mengambil KPR. Alasannya? Bukan sekadar takut terikat cicilan puluhan tahun, tetapi juga karena mereka merasa belum bisa hidup layak sambil mencicil rumah dan tetap menabung.
"Saya takut hidup cuma untuk bayar cicilan," kata Rafi, 28 tahun, seorang karyawan swasta di Yogyakarta. "Gaji UMR, kebutuhan makin naik, belum lagi biaya tak terduga."
Selain itu, ada juga yang merasa KPR justru mengikat mobilitas. Anak muda sekarang lebih fleksibel dan terbuka dengan kemungkinan berpindah kota untuk pekerjaan atau peluang baru. Mengikat diri pada rumah tetap terasa seperti menambatkan kapal di pelabuhan yang belum tentu menjadi tujuan akhir.
Namun, bukan berarti semua anak muda menolak KPR. Beberapa justru merasa ini adalah satu-satunya cara untuk bisa punya rumah sebelum usia 40. Mereka yang mantap ambil KPR biasanya mempertimbangkan:
- Lokasi strategis dan akses mudah
- Besaran cicilan yang masih bisa ditoleransi
- Dukungan dari pasangan atau keluarga
- Harapan agar harga rumah naik sebagai bentuk investasi
Rumah Subsidi: Harapan Besar di Balik Harga Terjangkau
Di tengah keterbatasan finansial, rumah subsidi muncul sebagai harapan. Tapi, ekspektasi terhadap rumah subsidi juga tidak kecil. Murah saja tidak cukup. Masyarakat, terutama anak muda, juga berharap rumah subsidi:
- Layak huni dan tidak cepat rusak
- Ukurannya cukup untuk membesarkan keluarga kecil
- Memiliki akses ke transportasi umum, sekolah, dan tempat kerja
- Aman dan berada di lingkungan yang sehat
Sayangnya, realita tidak selalu seindah brosur. Banyak yang mengeluhkan kualitas bangunan yang buruk, lokasi terlalu jauh dari pusat kota, hingga infrastruktur lingkungan yang belum siap.
"Waktu saya survei rumah subsidi, dindingnya sudah retak padahal baru 1 tahun dibangun. Lokasinya juga jauh dari mana-mana," kata Winda, 31 tahun, guru honorer yang batal mengambil rumah subsidi.