Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Subsidi Untuk Rakyat, Bukan Untuk Mangsa Korupsi

18 Juni 2025   21:44 Diperbarui: 18 Juni 2025   21:44 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: tipe rumah sangat sempit kecil pula, sumber foto: republika)

Subsidi untuk Rakyat, Bukan Mangsa Korupsi: Urgensi Reformasi Sistem Perumahan

Di tengah krisis perumahan yang menganga lebar -dengan backlog mencapai ratusan ribu unit dan harga properti yang tak terjangkau- pertanyaan mendasar harus dijawab: mengapa negara tidak berani merugi demi rakyatnya?

Program rumah subsidi 2025 dengan ukuran 18 meter persegi dan cicilan Rp 600.000 memang dianggap solusi, tetapi bagi keluarga muda di kota besar, angka-angka ini masih jauh dari kata "layak". Gaji rata-rata pekerja informal seperti ojol atau buruh yang berkisar Rp 3--7 juta per bulan justru membutuhkan subsidi yang lebih radikal - bukan hanya "murah", tetapi benar-benar terjangkau tanpa mengorbankan martabat hidup.

Ketimpangan yang Terabaikan: Subsidi untuk Rakyat, atau untuk Pejabat?

Data KemenPUPR mencatat, dari target 1 juta rumah periode 2019--2024, hanya 943.100 unit tercapai. Sementara itu, survei BPS 2023 menunjukkan rata-rata upah pekerja informal di Jabodetabek masih di bawah Rp 5 juta per bulan. Dengan biaya hidup tinggi, cicilan Rp 600.000 per bulan untuk rumah 18 meter persegi -yang bahkan untuk keluarga empat orang hanya menyisakan 4,5 meter persegi per individu- terasa seperti lelucon.

Ironisnya, sementara rakyat kesulitan, korupsi di sektor perumahan terus merajalela. Kasus seperti korupsi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang merugikan negara triliunan rupiah menjadi bukti bahwa subsidi sering kali menjadi lahan bancakan oknum. Seorang pejabat di Kementerian PUPR pernah tertangkap tangan menerima suap proyek perumahan, sementara rakyat masih menanti janji "rumah impian".

Mengapa Negara Harus "Berani Rugi"?

Program perumahan selama ini terjebak dalam perhitungan ekonomi ketat: biaya konstruksi, margin keuntungan pengembang, atau target pengembalian investasi. Padahal, rumah adalah hak dasar, bukan komoditas. Finlandia, misalnya, menggratiskan biaya sewa hunian bagi warga miskin melalui skema housing allowance, sementara Singapura membangun HDB dengan subsidi hingga 70% dari harga pasar. Di sana, prinsipnya jelas: negara rela "rugi" demi memastikan rakyatnya tidak terjebak kemiskinan struktural.

Di Indonesia, anggaran subsidi perumahan sering kali tersedot oleh korupsi atau birokrasi berbelit. Alih-alih membantu rakyat, dana subsidi justru menjadi alat bagi pejabat untuk memperkaya diri. "Kalau cicilan rumah harus Rp 600.000, sisa uang untuk apa?" tanya Siti, seorang buruh tekstil di Tangerang. Pertanyaan ini mengungkap kekecewaan atas ketimpangan sistem: rakyat diperas dengan syarat ketat, sementara pejabat korup hidup mewah.

Kontroversi Rumah 18 Meter Persegi: Solusi atau Pelecehan?

Rencana rumah 18 meter persegi menuai kritik keras karena dianggap merendahkan martabat penghuninya. Junaidi Abdillah dari Apersi memperingatkan risiko terciptanya pemukiman kumuh baru, sementara netizen di media sosial menyindir, "Kalau begitu, nanti dibikin yang 9 meter persegi juga?"

Padahal, ukuran tersebut adalah hasil kompromi antara tekanan harga dan ketersediaan lahan. Dengan biaya konstruksi rumah subsidi yang mencapai Rp 200--300 juta per unit, pemerintah terpaksa memangkas luas bangunan agar cicilan tetap di bawah Rp 1 juta. Namun, pertanyaannya: apakah mengorbankan kenyamanan dan kelayakan hidup adalah pilihan yang adil? Lebih ironis lagi, jika dana subsidi disalahgunakan, ukuran rumah kecil pun tetap tidak akan menyentuh rakyat.

Solusi: Subsidi Berjenjang dan Anti-Korupsi

Alih-alih hanya memperkecil ukuran rumah, pemerintah perlu merancang skema subsidi yang lebih progresif:

Pertama, Subsidi Berjenjang Berdasarkan Gaji: Keluarga dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta mendapat subsidi lebih besar, bahkan gratis sewa selama beberapa tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun