Mengapa Banyak Anak Muda Ragu Ambil KPR? Ini Fakta, Alasan, dan Solusinya
Di usia 25-35 tahun, banyak orang mulai memikirkan masa depan - termasuk soal rumah. Tapi apakah memiliki rumah masih menjadi prioritas bagi anak muda saat ini? Atau justru Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dianggap sebagai beban yang terlalu berat?
Faktanya, semakin banyak generasi muda yang ragu untuk mengambil KPR. Bukan karena tidak ingin punya rumah, tapi lebih pada realita ekonomi dan gaya hidup yang berubah.
Mari kita coba pahami bersama, mengapa hal ini bisa terjadi, serta apa saja alternatif dan solusi yang bisa dipertimbangkan.
Harga Rumah Naik, Gaji Belum Menyusul
Bayangkan begini:Â kamu baru saja diterima kerja, gaji pertamamu sekitar Rp 6-7 juta per bulan. Biaya hidup bulanan sudah pasti menyedot sebagian besar dari itu - sewa tempat tinggal, transportasi, makan, asuransi, sampai tabungan.
Lalu tiba-tiba ada iklan apartemen atau rumah subsidi yang menawarkan cicilan KPR sekitar Rp 6-8 juta per bulan. Di luar biaya-biaya tambahan seperti BPHTB, notaris, dan asuransi.
Masalahnya, standar keuangan yang sehat menyarankan agar alokasi untuk tempat tinggal tidak melebihi 30% dari penghasilan bulanan. Dengan gaji Rp 7 juta, idealnya biaya tempat tinggal hanya sekitar Rp 2,1 juta/bulan.
Tapi kenyataannya, harga sewa apartemen studio di Jakarta saja bisa mencapai Rp 4-5 juta per bulan. Apalagi jika harus membayar cicilan KPR.
Jelas sekali, ada kesenjangan besar antara harga rumah dan kemampuan finansial anak muda hari ini.
KPR Bukan Hanya Cicilan Bulanan
Sering kali, anak muda hanya melihat besaran cicilan bulanan tanpa menyadari adanya biaya tersembunyi dalam proses KPR.