Melampaui Batas: Konflik Administratif Pulau dan Harapan untuk Solusi Inklusif
Di ufuk barat Indonesia, di mana laut bertemu daratan, sebuah drama administrasi tengah berlangsung. Empat pulau kecil -Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek- yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kini telah beralih hak administratifnya ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Keputusan ini, yang ditegaskan melalui Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dan mulai berlaku sejak April 2025, bukan sekadar coretan baru di peta (Kemendagri, 2025). Ia adalah cermin dari pertarungan hukum, identitas, dan keadilan yang kini mengguncang masyarakat lokal, memancing pertanyaan besar: Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri ini?
Hukum dan Otonomi: Fondasi yang Rapuh
Di balik keputusan ini, terdapat kerangka hukum yang seharusnya menjadi landasan kokoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menjanjikan tujuh tujuan mulia, mulai dari efektivitas pemerintahan hingga pelestarian budaya lokal (Republik Indonesia, 2014).
Namun, ketika kebijakan ini menyentuh tanah Aceh -daerah dengan otonomi khusus yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006- fondasi itu tampak rapuh (Republik Indonesia, 2006).
Pemerintah Aceh menunjukkan bukti kuat: dokumen kepemilikan tanah sejak 1965 dan infrastruktur yang dibangun sejak 2012, yang memperkuat klaim mereka atas pulau-pulau tersebut (Pemerintah Aceh, 2022).
Ahli hukum tata negara, Ichsan Anwary, menegaskan bahwa kebijakan seperti ini harus memenuhi prinsip filosofis, sosiologis, dan yuridis (Anwary, 2025). Tanpa analisis mendalam terhadap dampaknya, keputusan ini rentan kehilangan legitimasi.
Prinsip hukum internasional seperti uti possidetis juris, yang digunakan dalam kasus seperti Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras), bisa menjadi alat untuk mengevaluasi keabsahan klaim Aceh (ICJ, 1992).
Namun, di tengah labirin hukum ini, suara yang paling lantang justru datang dari masyarakat: Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Singkil, yang dipimpin Sarbaini Agam, bersumpah untuk merebut kembali pulau-pulau tersebut, bukan demi administrasi, tetapi demi harga diri (Agam, 2025).