Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Konflik Administratif Pulau dan Harapan untuk Solusi Inklusif

11 Juni 2025   22:02 Diperbarui: 11 Juni 2025   22:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi tentang pulau polemik, berita terbaru dari barat, foto: harianreportase)

Melampaui Batas: Konflik Administratif Pulau dan Harapan untuk Solusi Inklusif

Di ufuk barat Indonesia, di mana laut bertemu daratan, sebuah drama administrasi tengah berlangsung. Empat pulau kecil -Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek- yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kini telah beralih hak administratifnya ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Keputusan ini, yang ditegaskan melalui Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dan mulai berlaku sejak April 2025, bukan sekadar coretan baru di peta (Kemendagri, 2025). Ia adalah cermin dari pertarungan hukum, identitas, dan keadilan yang kini mengguncang masyarakat lokal, memancing pertanyaan besar: Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri ini?

Hukum dan Otonomi: Fondasi yang Rapuh

Di balik keputusan ini, terdapat kerangka hukum yang seharusnya menjadi landasan kokoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menjanjikan tujuh tujuan mulia, mulai dari efektivitas pemerintahan hingga pelestarian budaya lokal (Republik Indonesia, 2014).

Namun, ketika kebijakan ini menyentuh tanah Aceh -daerah dengan otonomi khusus yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006- fondasi itu tampak rapuh (Republik Indonesia, 2006).

Pemerintah Aceh menunjukkan bukti kuat: dokumen kepemilikan tanah sejak 1965 dan infrastruktur yang dibangun sejak 2012, yang memperkuat klaim mereka atas pulau-pulau tersebut (Pemerintah Aceh, 2022).

Ahli hukum tata negara, Ichsan Anwary, menegaskan bahwa kebijakan seperti ini harus memenuhi prinsip filosofis, sosiologis, dan yuridis (Anwary, 2025). Tanpa analisis mendalam terhadap dampaknya, keputusan ini rentan kehilangan legitimasi.

Prinsip hukum internasional seperti uti possidetis juris, yang digunakan dalam kasus seperti Land, Island, and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras), bisa menjadi alat untuk mengevaluasi keabsahan klaim Aceh (ICJ, 1992).

Namun, di tengah labirin hukum ini, suara yang paling lantang justru datang dari masyarakat: Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Singkil, yang dipimpin Sarbaini Agam, bersumpah untuk merebut kembali pulau-pulau tersebut, bukan demi administrasi, tetapi demi harga diri (Agam, 2025).

(foto: orinews)
(foto: orinews)

Dampak Nyata: Birokrasi Ganda dan Ancaman Kehidupan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun