Lukisan di Bawah Bintang
Di sebuah gang sempit di Yogyakarta, di tengah riuhnya suara sepeda motor dan aroma gudeg yang menyengat dari warung-warung kecil, Lira duduk termenung di beranda rumah kontrakannya yang mungil. Kanvas kosong menatapnya seperti menantang, menunggu sentuhan warna yang bisa menghidupkan impian yang selama ini terpendam. Kuas di tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan oleh semangat yang membuncah dan ketegangan yang menyelimuti hati gadis itu.
Lira, gadis 24 tahun dengan mata penuh harapan sekaligus keputusasaan, baru saja kehilangan pekerjaan sebagai desainer grafis. Hanya selembar dua puluh ribu dan sejumput harapan yang tersisa di dompetnya. Ia tahu, jalan yang diambilnya ini berisiko: melukis bukanlah jalan yang pasti, apalagi di tengah kondisi keuangan yang semakin kritis.
Setiap malam, ia melukis di bawah lampu temaram, mencampur warna-warna cerah yang mencerminkan dunia imajinasi dan harapannya. Ia suka menggambar langit malam, penuh bintang, dengan siluet manusia yang merenung dan mencari makna. "Lukisan ini punya cerita," bisiknya pada diri sendiri, "tapi siapa yang mau beli cerita dari seorang pengangguran?"
Ketegangan semakin terasa saat hari-hari berlalu dan tabungannya semakin menyusut. Ibunya di kampung terus bertanya, khawatir dan cemas, "Lira, kapan pulang? Cari kerja yang beneran!" Tapi Lira keras kepala. Ia percaya, lukisannya bisa berbicara dan menembus dunia.
Hingga suatu malam, di tengah keputusasaan, ia melihat iklan di media sosial: "Pameran seni untuk pemula. Kesempatan menampilkan karya." Jantungnya berdegup kencang. Tapi ada satu masalah besar; biaya sewa booth Rp500.000. Sebuah angka yang terasa seperti beban berat di pundaknya saat ini.
Keesokan harinya, Lira memutuskan untuk pergi ke Pegadaian. Ia membawa kalung emas peninggalan neneknya, satu-satunya barang berharga yang dimilikinya. Ia merasa hatinya berdebar keras saat petugas menilai barangnya. "Cuma Rp300.000," kata petugas datar. Lira menelan ludah, merasa kecewa dan takut gagal. Ia menunggu sejenak, lalu mengingat ada Rp200.000 dari hasil menjual sketsa kecil ke teman kuliahnya.
Dengan nekat, ia meminjam uang itu, berjanji akan menebus kalung itu kembali secepatnya. Ia tahu, ini adalah taruhan besar, tapi tidak ada pilihan lain.
Hari pameran pun tiba. Suasana ramai dan penuh ketegangan. Lira berdiri canggung di belakang booth-nya, dikelilingi lukisan-lukisan langit malam yang penuh bintang dan harapan. Orang-orang lewat, sesekali melirik, tapi tak berhenti. Suasana makin menegangkan saat ia merasa karya-karyanya tak menarik perhatian. Perasaan takut akan kegagalan menggerogoti hati.
Namun, saat ia hampir putus asa, seorang pria paruh baya berhenti di depan lukisan terbesarnya, "Bintang di Atas Mimpi." Suaranya pelan, tapi penuh kekuatan. "Ini... ada jiwa," katanya. Lira menatapnya penuh harap, berharap ia akan mendapat peluang.