Kapsul Waktu Dibuka: Pesan dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Yogyakarta, 29 Mei 2025 – Tepat pukul 22.10 WIB, ratusan pasang mata tertuju pada sebuah kotak logam yang tersegel rapat di tengah lapangan. Suasana hening, hanya desau angin malam yang terdengar, seolah alam pun ikut menahan napas. Ini bukan sekadar acara biasa; ini adalah pembukaan kapsul waktu yang ditanam lima tahun lalu, tepatnya pada tahun 2020, saat dunia sedang bergulat dengan pandemi global. Kapsul ini adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, pesan dari generasi yang pernah terisolasi kepada dunia yang kini berusaha bangkit.
Saat tutup kapsul diangkat, sorak sorai pecah. Yang pertama keluar adalah sebuah smartphone, layarnya retak namun masih utuh. "Ini adalah penyelamat banyak orang saat lockdown," ujar sang penyelenggara, memegang gadget itu tinggi-tinggi. "Simbol bagaimana teknologi menjaga kita tetap terhubung, meski fisik terpisah." Di sebelahnya, seorang wanita paruh baya tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Aku ingat betul, waktu itu aku belajar Zoom untuk pertama kali demi rapat kantor," bisiknya pada teman di sampingnya.
Kemudian, sebuah masker kain sederhana diangkat dari dalam kotak. Benda yang dulu begitu lazim, kini terasa seperti artefak dari zaman lain. "Sulit dipercaya kita pernah hidup dengan ini setiap hari," kata seorang pria sambil mengangkat masker itu, seolah memamerkan relik bersejarah. Tawa kecil terdengar di kerumunan, tapi ada nada nostalgia di dalamnya, ingatan akan masa-masa sulit yang kini sudah berlalu.
Namun, yang paling menyentuh hati adalah sebuah jurnal lusuh, penuh coretan tangan dari berbagai usia. Di dalamnya, orang-orang dari masa pandemi menuangkan harapan, ketakutan, dan impian mereka. Saat beberapa halaman dibacakan, suasana berubah hening. "Aku berharap suatu hari kita bisa berkumpul lagi tanpa rasa takut," tulis seorang anak berusia 10 tahun. Kalimat sederhana itu menggema, mengingatkan semua orang betapa berharganya kebersamaan yang kini mereka nikmati.
Suara dari Masa Lalu: Kisah Maya
Di antara isinya, ada surat dari seorang gadis bernama Maya, yang kini berusia 18 tahun. "Aku berharap di tahun 2025, kita sudah bisa saling berpelukan tanpa khawatir," tulisnya lima tahun lalu. Kini, Maya berdiri di antara kerumunan, tersenyum saat suratnya dibacakan. "Waktu itu aku merasa sangat takut dan sendirian," kenangnya. "Tapi aku juga punya harapan besar. Melihat surat ini sekarang, rasanya seperti pesan dari diriku yang dulu, mengingatkan untuk tetap optimis."
Sebagai mahasiswa jurusan ilmu lingkungan, Maya kini fokus pada isu perubahan iklim. "Masih banyak tantangan, tapi aku yakin generasi kita bisa membawa perubahan," ujarnya penuh semangat. Kisah Maya menjadi cerminan bagaimana waktu mengubah kita; dari anak kecil yang penuh harap menjadi pemuda yang siap berjuang untuk masa depan.
Warisan untuk Generasi Mendatang
Acara ditutup dengan rencana untuk mengisi kapsul waktu baru, yang akan dibuka lima tahun lagi. "Apa yang akan kita tinggalkan untuk masa depan?" tanya sang penyelenggara, mengajak semua orang berpikir. Mungkin sebuah panel surya mini, simbol komitmen terhadap energi bersih. Atau sebuah buku tentang kebangkitan pascapandemi, kisah tentang bagaimana umat manusia belajar dari kesalahan. Atau, barangkali, sekadar catatan kecil dari seseorang yang berharap dunia terus menjadi lebih baik.
Malam itu, di bawah langit Jakarta yang berbintang, orang-orang pulang dengan perasaan campur aduk: terharu, bersyukur, dan penuh harap. Kapsul waktu itu bukan sekadar kotak berisi benda; ia adalah cermin yang memantulkan perjalanan kita, dari kegelapan menuju cahaya, dari isolasi menuju kebersamaan. Dan pada pukul 22.10 WIB, 29 Mei 2025, kita diingatkan bahwa setiap detik berharga, setiap momen adalah kesempatan untuk menciptakan sejarah.