Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Komite Sekolah: Mitra Strategis atau Sekadar Hiasan?

24 Mei 2025   21:36 Diperbarui: 27 Mei 2025   21:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Komite Sekolah: Mitra Strategis atau Sekadar Hiasan?

Selama 9 tahun menemani anak sulungku dari SD sampai SMP, satu hal yang nggak pernah absen: Komite Sekolah (posisi selalu berganti, ketua atau sekretaris, tidak pernah mau menjadi bendahara). Dari rapat-rapat serius sampai kerja bakti untuk kegiatan edupark, kemah pramuka, bazzar bersama sekolah, dll., komite ini selalu ada. Tapi akhir-akhir ini, banyak yang nyeletuk: "Ngapain sih ada komite? Ujung-ujungnya cuma urus iuran!"

Waduh, bener nggak sih? Atau jangan-jangan, kita belum maksimal memanfaatkan potensinya? Yuk, kita selami bareng sambil siapkan pena untuk menuliskan pengalaman Anda juga dan bagikan kepada pembaca lain!

***

Bukan Sekadar "Mesin ATM", Tapi Partner Pembangunan Sekolah

Jujur, awalnya saya pikir komite cuma tempat ngumpulin uang buat perbaikan atau kegiatan kelas yang ada anak saya. Ternyata salah besar! Di balik rapat-rapat yang kadang membosankan, ada peran vital yang sering kita lewatkan:

  • Arsitektur Kolaborasi
    Komite sukses bikin chemistry antara orang tua, guru, dan siswa. Misalnya Waktu sekolah butuh perpustakaan digital, komite ngajak orang tua yang punya keahlian IT buat bikin sistemnya. Hasilnya? Perpustakaan nggak cuma jadi, tapi juga ramah teknologi! Atau saat akan mengadakan edupark, orang tua yang punya rekanan persewaan bis bisa menawarkan harga yang lebih murah, bahkan ada yang gratis.
  • Dukung Penggalang Dana Kreatif
    Nggak melulu minta iuran, komite di sekolah anakku pernah bikin bazaar buku bekas atau barang bekas lainnya. Dana terkumpul, lingkungan sekolah jadi lebih hijau berkat penghijauan yang didanai dari situ. Who says money can't grow on trees?
  • Satgas Transparansi
    Pernah dengar kasus dana sumbangan "nggelandangan"? Di sini, komite bertindak sebagai watchdog. Laporan keuangan dipajang di grup WhatsApp setiap bulan. No more "uangnya ke mana?" Hal-hal semacam ini nampak biasa saja, tetapi seringkali menjadi bukti perhatian bersama agar segala sesuatunya berjalan dengan semestinya.

(olahan qwen 2.1 max, dokpri)
(olahan qwen 2.1 max, dokpri)

Realita di Lapangan: Antara Semangat dan Keterbatasan

Tapi nggak semua mawar berbau harum. Masih ada ganjalan:

  • "Ah, Saya Sibuk!"
    Banyak orang tua keenakan delegasi tugas. Alhasil, anggota komite itu-itu aja. Padahal, ide segar justru datang dari yang baru. Jangan di sekolah Anda, yang jadi komite ya orangnya itu-itu saja. Bukan karena mereka itu serakah gak mau lengser, tetapi karena ada orang tua yang memang gak peduli. Yang penting anaknya sekolah di situ. 
  • Kurang Melek Manajemen
    Ada kasus dana kebocoran gara-gara bendahara nggak paham pembukuan. Basic financial literacy kayaknya perlu jadi syarat jadi anggota komite, ya? Sepengalaman saya belum pernah terjadi. Kecuali komite yang memang sedang menggalang dana besar untuk perbaikan sekolah atau lainnya. Tapi pengalamannya baik di komite kelas dan komite sekolah tidak pernah terjadi. 
  • Sekolah yang "Alergi" Kritik
    Di beberapa tempat, komite dianggap rival, bukan partner. Misalnya, ketika komite mengkritik sistem ujian online yang amburadul, pihak sekolah malah tersinggung. Hello, kolaborasi dong! Apakah itu terjadi sekolah-sekolah besar dengan murid ribuan karena dananya besar? ENTAH. Saya tidak punya data jika ada sekolah yang alergi kritik.

Belajar dari Mereka yang Sudah "Ngeh"

Di desa tetangga, ada komite sekolah yang jadi role model. Rahasianya?

  • Pelatihan Berkala
    Anggota komite dikasih pelatihan manajemen proyek dan komunikasi. Hasilnya? Proposal pengadaan lab komputer mereka menang hibah pemerintah!
  • Libatkan Anak Muda
    Mereka membuka posisi khusus untuk mahasiswa KKN atau pemuda karang taruna. Ide-ide out of the box pun mengalir, seperti program "Satu Siswa Satu Pohon".
  • Digitalisasi Laporan
    Pakai Google Sheets untuk real-time tracking dana. Orang tua bisa cek kapan saja via HP. Transparansi level: superhero!

Lantas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Daripada debat "pertahankan vs hapuskan", mending kita reformasi total. Caranya?

  • Rebranding Komite
    Ganti nama yang kekinian kayak "Tim Kolaborasi Orangtua-Sekolah (TKOS)". Biar nggak kesan kaku!
  • Sistem Rotasi Anggota
    Setiap tahun, 30% anggota harus diganti. Biar fresh dan nggak stagnan.
  • Komite Goes Digital
    Rapat via Zoom, galang dana lekat crowdfunding, atau buka podcast buat sosialisasi program. Lawan gaptek!

Penutup: Jangan Bunuh, Tapi Pacu!

Bayangkan sekolah seperti startup. Kepala sekolah sebagai CEO, guru sebagai tim inti, dan komite sebagai dewan investor plus mentor. Kalau hubungannya sehat, sekolah bisa scale-up dengan cepat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun