171 Juta vs. 24 Juta: Mana yang Benar? Kontroversi Angka Kemiskinan di Indonesia
Di Indonesia, kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan cerminan kompleksitas kehidupan masyarakat. Namun, ketika dua lembaga ternama -Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)- merilis data yang sangat berbeda, pertanyaan pun muncul: mana yang benar? Bank Dunia menyebut 171,8 juta jiwa atau 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara BPS hanya mencatat 24,06 juta jiwa atau 8,57%.
Perbedaan mencolok ini bukan hanya soal statistik, tetapi juga memicu kebingungan di kalangan masyarakat dan pembuat kebijakan. Apa yang menyebabkan jurang sebesar ini? Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan metodologi kedua lembaga dan dampaknya bagi Indonesia.
Metodologi Bank Dunia: Standar Global yang Tinggi
Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan internasional sebesar US$6,85 per orang per hari untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia. Dengan kurs saat ini, angka ini setara dengan sekitar Rp108.000 per hari.Â
Standar ini dirancang untuk membandingkan kemiskinan antarnegara secara konsisten, tetapi tidak mempertimbangkan konteks lokal seperti biaya hidup atau pola konsumsi masyarakat Indonesia.Â
Hasilnya, 171,8 juta orang -hampir dua pertiga populasi- terklasifikasi miskin menurut ukuran ini. Namun, penting dicatat: ini bukan kemiskinan ekstrem, melainkan gambaran kemiskinan berdasarkan perspektif global.
Metodologi BPS: Realitas Lokal yang Spesifik
Sebaliknya, BPS mengadopsi pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) yang lebih terfokus pada kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan biaya untuk memenuhi 2.100 kalori per hari ditambah kebutuhan non-makanan esensial, seperti tempat tinggal dan pendidikan.Â
Nilainya bervariasi antar daerah: misalnya, Rp4.238.886 per kapita per bulan di Jakarta dan Rp3.102.215 di Nusa Tenggara Timur. Dengan metode ini, BPS mencatat 24,06 juta orang atau 8,57% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini mencerminkan kemiskinan ekstrem yang disesuaikan dengan kondisi lokal.
Implikasi Perbedaan: Kebijakan dan Persepsi Publik
Perbedaan metodologi ini bukan sekadar teknis, tetapi memiliki dampak nyata:
- Kebijakan: Jika Indonesia mengacu pada standar Bank Dunia, pemerintah perlu sumber daya besar untuk mengentaskan kemiskinan 171 juta jiwa agar sejajar dengan standar global. Namun, dengan data BPS, fokusnya lebih terarah pada 24 juta orang yang benar-benar berada dalam kondisi kritis. Mana yang lebih realistis untuk prioritas anggaran negara?
- Persepsi Publik: Angka yang jauh berbeda ini bisa memicu kebingungan bahkan ketidakpercayaan terhadap data resmi. Tanpa komunikasi yang jelas, masyarakat mungkin bertanya-tanya: "Apakah kemiskinan kita seburuk itu, atau justru lebih baik dari yang dilaporkan?"
Kesimpulan: Bukan Bertentangan, Tapi Saling Melengkapi
Data Bank Dunia dan BPS tidak perlu dilihat sebagai kontradiksi. Bank Dunia menawarkan perspektif global, membantu Indonesia memahami posisinya di dunia. Sementara itu, BPS memberikan gambaran lokal, yang lebih relevan untuk kebijakan domestik.Â