Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kebangkitan Nasional: Warisan SEJARAH dan RELEVANSI di Era Digital

20 Mei 2025   07:20 Diperbarui: 20 Mei 2025   07:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Hari Kebangkitan Nasional: Warisan Sejarah dan Relevansi di Era Digital

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang diperingati setiap 20 Mei, mengenang berdirinya Boedi Utomo pada 1908 sebagai tonggak awal kesadaran nasionalisme Indonesia. Organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo ini awalnya fokus pada pendidikan dan kesejahteraan sosial, menjadi inspirasi lahirnya organisasi pergerakan nasional seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Taman Siswa. Pendekatan intelektual dan budaya yang diusung Boedi Utomo membedakannya dari gerakan sebelumnya, menciptakan fondasi struktural bagi perjuangan kemerdekaan hingga Proklamasi 1945.

Makna Harkitnas tidak hanya terbatas pada peristiwa historis, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai persatuan, gotong royong, dan nasionalisme. Di era modern, tema seperti "Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat" menunjukkan adaptasi semangat kebangkitan nasional untuk menghadapi tantangan global. Dengan polarisasi opini dan digitalisasi yang semakin cepat, Harkitnas menjadi pengingat pentingnya menjaga solidaritas lintas suku, agama, dan budaya sebagai pilar ketahanan bangsa.

Tokoh-Tokoh Sentral dalam Pergerakan Nasional Awal Abad ke-20

Pergerakan nasional Indonesia tidak terlepas dari peran tokoh visioner seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, dan HOS Tjokroaminoto. Wahidin meletakkan dasar pergerakan melalui gagasan pendidikan gratis bagi pelajar pribumi kurang mampu, yang kemudian direalisasikan oleh Sutomo dalam pendirian Boedi Utomo. Ki Hajar Dewantara memperkuat fondasi pendidikan nasional dengan mendirikan Taman Siswa, sementara Tjokroaminoto memimpin Sarekat Islam menjadi organisasi massal yang menantang dominasi kolonial.

Kontribusi mereka tidak hanya bersifat politis, tetapi juga edukatif dan budaya. Boedi Utomo, Sarekat Islam, dan Taman Siswa menjadi model kolaborasi lintas kelompok yang memperkuat kesadaran kolektif. Nilai-nilai yang mereka perjuangkan -pendidikan, persatuan, dan nasionalisme- masih relevan untuk menjaga identitas kebangsaan di tengah arus globalisasi dan ancaman fragmentasi sosial.

Relevansi Nilai-Nilai Kebangsaan di Era Digital

Era digital membawa transformasi dalam cara masyarakat merayakan dan memaknai Harkitnas. Aktivitas daring seperti penggunaan twibbon di media sosial, kampanye edukatif, dan konten kreatif menjadi medium baru untuk menyuarakan semangat persatuan. Generasi Z, yang akrab dengan platform digital, memanfaatkan teknologi untuk mendukung ekonomi lokal, seperti promosi UMKM melalui konten visual yang menginspirasi.

Namun, tantangan muncul dari penyebaran hoaks dan disinformasi yang mengancam kohesi sosial. Data menunjukkan 65% hoaks selama pandemi berkaitan dengan informasi medis, sementara media sosial menjadi saluran utama penyebarannya. Untuk mengatasi ini, literasi digital dan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, serta masyarakat menjadi kunci. Program e-learning dan sistem deteksi hoaks berbasis AI pun mulai dikembangkan untuk memperkuat ketahanan informasi.

Teknologi Digital sebagai Alat Penguatan Identitas Nasional

Teknologi digital memiliki potensi besar dalam mempromosikan kebangkitan nasional melalui pendidikan dan infrastruktur inklusif. Platform e-learning dan museum virtual memudahkan akses materi sejarah kebangsaan, sementara AI dan blockchain dapat digunakan untuk sistem identitas digital berbasis budaya lokal. Kota Surabaya, misalnya, telah memanfaatkan AI untuk manajemen lalu lintas, sedangkan Jawa Barat menerapkannya dalam prediksi wabah penyakit.

Namun, tantangan infrastruktur seperti konektivitas internet dan literasi digital masih menghambat pemerataan akses. Program seperti Digital Talent Scholarship dan penyediaan pusat pembelajaran digital menjadi solusi strategis. Selain itu, integrasi pendidikan karakter berbasis akhlakul karimah dalam kurikulum merdeka di sekolah-sekolah membantu membentuk generasi yang tidak hanya kompeten teknologi, tetapi juga berintegritas kebangsaan.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Perspektif Generasi Muda dan Strategi Adaptasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun