Mendidik Anak "Nakal" dengan Cinta: Refleksi Katolik dan Pelajaran dari Jawa Barat
Â
Di Jawa Barat, fenomena kenakalan remaja seperti tawuran, geng motor, dan kecanduan game daring telah mendorong kebijakan kontroversial: mengirim anak-anak "nakal" ke barak militer untuk pembinaan karakter. Diluncurkan pada Mei 2025 oleh Gubernur Dedi Mulyadi, program ini menempatkan anak-anak di bawah pengawasan TNI-Polri di barak seperti Resimen Artileri Medan 1, Purwakarta, dengan rutinitas ketat selama 14 hari hingga enam bulan. Tujuannya mulia: menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan nilai bela negara.
Namun, kebijakan ini memicu perdebatan sengit. Sebagian memuji pendekatan tegasnya, sementara Komnas HAM dan pakar pendidikan memperingatkan risiko pelanggaran hak anak dan ketidakefektifan jangka panjang. Dari perspektif Katolik, yang menempatkan keluarga sebagai pusat pendidikan karakter, muncul pertanyaan krusial: apakah barak militer atau sekolah berasrama adalah solusi terbaik, atau justru orang tua yang harus mengambil peran utama?
Kontroversi Barak Militer: Solusi Cepat atau Jalan Buntu?
Program pembinaan di barak militer menawarkan pendekatan terstruktur: bangun pagi, olahraga, pelajaran bela negara, dan pendidikan keagamaan. Dedi Mulyadi mengklaim keberhasilan awal, seperti anak-anak yang kini tidur jam 9 malam dan berhenti merokok, dibandingkan kebiasaan sebelumnya tidur jam 4 pagi. Pendukung, termasuk Menteri HAM Natalius Pigai, menyebut program ini sebagai intervensi tepat bagi anak-anak yang sulit ditangani sekolah atau orang tua, selama tidak ada kekerasan fisik.
Namun, kritik datang bertubi-tubi. Komnas HAM, melalui Atnike Nova Sigiro, menilai pelibatan TNI tidak tepat dan berpotensi melanggar hak anak karena kurangnya dasar hukum dan kurikulum jelas. Dosen Psikologi Universitas Pancasila, Aully Grashinta, memperingatkan bahwa pendekatan militeristik hanya mengubah perilaku sementara tanpa menyentuh akar masalah, seperti kegagalan pengasuhan atau tekanan sosial.
Lebih jauh, durasi singkat 14 hari dinilai tidak cukup untuk membentuk karakter kompleks remaja, bahkan berisiko membuat mereka lebih agresif atau kehilangan kreativitas.
Sekolah Berasrama: Lingkungan Terstruktur, Tapi Cukupkah?
Alternatif lain adalah sekolah berasrama, seperti pesantren di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, yang menggabungkan pendidikan karakter dengan nilai spiritual dan kurikulum formal. Pendekatan ini menawarkan lingkungan terpimpin dengan pembiasaan positif, seperti shalawat dan aktivitas keagamaan, yang mirip dengan disiplin barak tetapi lebih lembut.
Namun, keberhasilan sekolah berasrama bergantung pada kualitas pendidik, fasilitas, dan keterlibatan orang tua. Jika anak hanya "disingkirkan" ke asrama tanpa perubahan pola asuh di rumah, perilaku bermasalah cenderung kembali. Biaya asrama juga menjadi kendala bagi keluarga kurang mampu, berbeda dengan barak militer yang dibiayai APBD Jawa Barat sebesar Rp6 miliar untuk 900 siswa.
Perspektif Katolik: Keluarga sebagai Sekolah Pertama
Dalam ajaran Katolik, pendidikan karakter adalah tanggung jawab utama orang tua, sebagaimana ditegaskan dalam Familiaris Consortio (1981) oleh Paus Yohanes Paulus II. Keluarga adalah "sekolah pertama" untuk menanamkan nilai-nilai kasih, moral, dan tanggung jawab. Katekese persiapan perkawinan, yang wajib diikuti pasangan Katolik, mengajarkan bahwa mendidik anak harus dengan dialog, empati, dan teladan, bukan hukuman atau ketakutan.