Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Adaptasi Masyarakat Pesisir terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut dengan Budaya Lokal

11 Mei 2025   13:03 Diperbarui: 11 Mei 2025   13:03 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan qwen 2.1 max, dokpri)

Adaptasi Masyarakat Pesisir terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut dengan Pendekatan Budaya Lokal

 


Di tepi pantai Tambaklorok, Semarang, saat senja memerah, Mak Sari, seorang nelayan berusia 55 tahun, memimpin ritual sedekah laut. Bersama warga, ia melarungkan sesaji ke laut, berdoa agar air laut yang kian naik tak menelan kampung mereka. "Laut adalah ibu kami, kami hormati, dia akan menjaga kami," katanya, tangannya gemetar memegang kelapa sesaji.

Di tengah ancaman kenaikan permukaan air laut yang menggerus pesisir, komunitas di Semarang dan Makassar merangkai kearifan lokal -ritual, sistem pertanian, dan solidaritas- untuk bertahan, menggabungkan warisan budaya dengan ilmu lingkungan dalam perjuangan melawan krisis iklim.

Ancaman Kenaikan Air Laut

Kenaikan permukaan air laut, yang dipercepat oleh perubahan iklim, mengancam pesisir Indonesia. Di Semarang, abrasi dan banjir rob merendam 30% wilayah pesisir sejak 1990-an, merusak 1.500 hektar lahan (Jurnal Biosains Pascasarjana, 2021). Makassar, dengan garis pantai 70 km, kehilangan 10--15 meter daratan per tahun (Jurnal Biologi Tropis, 2024). IPCC (2023) memprediksi kenaikan air laut hingga 1 meter pada 2100, mengancam 42 juta warga pesisir Indonesia.

Masyarakat pesisir, dengan kearifan lokal seperti ritual sedekah laut atau sistem pertanian tradisional, menunjukkan resiliensi unik. Pendekatan ini, yang mengintegrasikan ilmu lingkungan dan antropologi budaya, menawarkan solusi berbasis komunitas di tengah keterbatasan teknologi modern (Cultural Anthropology, 2021). Bagaimana kearifan lokal ini membentuk adaptasi di Semarang dan Makassar?

Faktor Lingkungan dan Budaya

Kenaikan air laut di Semarang dan Makassar dipicu oleh pencairan es global dan penurunan tanah akibat ekstraksi air tanah (Nature, 2024). Di Semarang, penurunan tanah mencapai 10 cm per tahun, memperparah banjir rob (Jurnal Biosains Pascasarjana, 2021). Makassar menghadapi erosi pantai akibat kerusakan terumbu karang (Jurnal Biologi Tropis, 2024). Dari sisi budaya, masyarakat pesisir mengandalkan kearifan lokal untuk bertahan.

Ritual seperti sedekah laut di Semarang memperkuat solidaritas komunal, sementara di Makassar, tradisi appasili (pantangan menangkap ikan pada hari tertentu) menjaga ekosistem laut (Green Network Asia, 2024).

Namun, tantangan seperti urbanisasi, globalisasi, dan kurangnya dukungan kebijakan melemahkan praktik ini (Jurnal Antropologi Indonesia, 2023). Journal of Social Anthropology (2020) mencatat bahwa kearifan lokal meningkatkan resiliensi hingga 40% jika didukung komunitas.

(olahan qwen 2.1 max, dokpri)
(olahan qwen 2.1 max, dokpri)

Pendekatan yang Mengabaikan Budaya

Banyak upaya adaptasi gagal karena mengabaikan kearifan lokal. Pemerintah sering memprioritaskan solusi teknis, seperti tanggul di Semarang, yang rusak dalam 5 tahun (Jurnal Biosains Pascasarjana, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun