Revitalisasi Bahasa Daerah melalui Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR)
Di sebuah dusun terpencil di Lombok, di bawah sinar bulan yang menerangi sawah, Rina, seorang remaja Sasak berusia 16 tahun, memakai kacamata VR sederhana yang dibuat oleh komunitas lokal.
Dalam sekejap, ia "berjalan" di pasar tradisional Sasak, mendengar kata-kata dalam bahasa ibunya -selamat, inaq, apa kabar- dengan terjemahan muncul di layar. "Saya akhirnya paham bahasa leluhur saya," katanya, matanya berbinar, tangan kecilnya mencatat kosakata baru.
Di tengah ancaman punahnya bahasa daerah, teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) menjadi jembatan ajaib, menghidupkan kembali bahasa Sasak untuk generasi muda, menjaga warisan budaya yang nyaris hilang.
Mengapa Bahasa Daerah Terancam?
Indonesia, dengan lebih dari 700 bahasa daerah, adalah mozaik budaya yang kaya, namun UNESCO (2023) memperingatkan bahwa 50% di antaranya, termasuk Sasak dan Dayak, terancam punah dalam dekade mendatang. Urbanisasi, dominasi bahasa Indonesia, dan kurangnya minat generasi muda mempercepat kepunahan ini. Di Lombok, hanya 30% remaja Sasak fasih berbahasa ibu mereka (Jurnal Antropologi Indonesia, 2023), sementara di Kalimantan, bahasa Dayak Ngaju mulai ditinggalkan anak-anak.
Teknologi AR dan VR, dengan kemampuan menciptakan pengalaman interaktif, menawarkan harapan untuk revitalisasi, tetapi tantangan seperti akses teknologi dan literasi digital di pedesaan menghambat potensinya. Cultural Anthropology (2021) mencatat bahwa pelestarian budaya melalui teknologi dapat meningkatkan identitas komunal hingga 40%, namun narasi ini masih langka di Indonesia.
Faktor Budaya dan Teknologi
Punahnya bahasa daerah didorong oleh beberapa faktor. Pertama, globalisasi dan media sosial mempopulerkan bahasa Indonesia dan Inggris, membuat bahasa daerah terasa "kuno" bagi Gen Z.
Kedua, kurangnya pengajaran formal di sekolah -bahasa Sasak atau Dayak jarang masuk kurikulum- mempercepat pengabaian.
Ketiga, keterbatasan akses teknologi di pedesaan, seperti sinyal internet yang lemah (hanya 15% desa dengan koneksi stabil, Modern Diplomacy, 2024), menghambat adopsi AR/VR.
Keempat, minimnya konten digital berbahasa daerah membuat anak muda seperti Rina jarang terpapar kosakata asli. Namun, semangat komunitas lokal dan kemajuan teknologi AR/VR, yang kini lebih terjangkau, menjadi pendorong revitalisasi.