Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Revitalisasi Bahasa Daerah melalui Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR)

10 Mei 2025   12:43 Diperbarui: 10 Mei 2025   12:43 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Revitalisasi Bahasa Daerah melalui Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR)

Di sebuah dusun terpencil di Lombok, di bawah sinar bulan yang menerangi sawah, Rina, seorang remaja Sasak berusia 16 tahun, memakai kacamata VR sederhana yang dibuat oleh komunitas lokal.

Dalam sekejap, ia "berjalan" di pasar tradisional Sasak, mendengar kata-kata dalam bahasa ibunya -selamat, inaq, apa kabar- dengan terjemahan muncul di layar. "Saya akhirnya paham bahasa leluhur saya," katanya, matanya berbinar, tangan kecilnya mencatat kosakata baru.

Di tengah ancaman punahnya bahasa daerah, teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) menjadi jembatan ajaib, menghidupkan kembali bahasa Sasak untuk generasi muda, menjaga warisan budaya yang nyaris hilang.

Mengapa Bahasa Daerah Terancam?

Indonesia, dengan lebih dari 700 bahasa daerah, adalah mozaik budaya yang kaya, namun UNESCO (2023) memperingatkan bahwa 50% di antaranya, termasuk Sasak dan Dayak, terancam punah dalam dekade mendatang. Urbanisasi, dominasi bahasa Indonesia, dan kurangnya minat generasi muda mempercepat kepunahan ini. Di Lombok, hanya 30% remaja Sasak fasih berbahasa ibu mereka (Jurnal Antropologi Indonesia, 2023), sementara di Kalimantan, bahasa Dayak Ngaju mulai ditinggalkan anak-anak.

Teknologi AR dan VR, dengan kemampuan menciptakan pengalaman interaktif, menawarkan harapan untuk revitalisasi, tetapi tantangan seperti akses teknologi dan literasi digital di pedesaan menghambat potensinya. Cultural Anthropology (2021) mencatat bahwa pelestarian budaya melalui teknologi dapat meningkatkan identitas komunal hingga 40%, namun narasi ini masih langka di Indonesia.

Faktor Budaya dan Teknologi

Punahnya bahasa daerah didorong oleh beberapa faktor. Pertama, globalisasi dan media sosial mempopulerkan bahasa Indonesia dan Inggris, membuat bahasa daerah terasa "kuno" bagi Gen Z.

Kedua, kurangnya pengajaran formal di sekolah -bahasa Sasak atau Dayak jarang masuk kurikulum- mempercepat pengabaian.

Ketiga, keterbatasan akses teknologi di pedesaan, seperti sinyal internet yang lemah (hanya 15% desa dengan koneksi stabil, Modern Diplomacy, 2024), menghambat adopsi AR/VR.

Keempat, minimnya konten digital berbahasa daerah membuat anak muda seperti Rina jarang terpapar kosakata asli. Namun, semangat komunitas lokal dan kemajuan teknologi AR/VR, yang kini lebih terjangkau, menjadi pendorong revitalisasi.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Pendekatan yang Tidak Kontekstual

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun