VASEKTOMI: PILIHAN, BUKAN UKURAN KEMENANGAN PRIA
Seorang pria tidak diukur dari apakah ia memilih vasektomi atau tidak. Keberhasilan seorang suami bukan terletak pada alat kontrasepsi yang ia gunakan, melainkan pada bagaimana ia mengendalikan diri, memahami tanggung jawab, dan menjaga keharmonisan keluarga.
Kehamilan yang tidak direncanakan sering dikaitkan dengan kurangnya pengendalian hawa nafsu, tetapi sesungguhnya, keputusan untuk merencanakan keluarga adalah cerminan kedewasaan, komunikasi, dan cinta dalam pernikahan.
Saya, sebagai suami dengan dua putra berusia 16 dan 11 tahun, memilih untuk tidak menggunakan vasektomi. Bukan karena saya menentangnya, tetapi karena kami menemukan cara lain yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai kami sebagai umat Katolik, yakni kontrasepsi berbasis alami (KBA). Namun, saya menghormati setiap pria yang memilih vasektomi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga dan pasangannya.
Vasektomi adalah metode kontrasepsi pria dengan tingkat keberhasilan mendekati 99,9% dalam mencegah kehamilan (World Health Organization, 2018). Prosedur ini melibatkan pemotongan atau penyegelan saluran vas deferens, sehingga sperma tidak bercampur dengan air mani yang dikeluarkan saat ejakulasi (Mayo Clinic, 2023).
Secara biologis, vasektomi tidak memengaruhi produksi hormon testosteron, gairah seksual, atau kenikmatan seksual (American Urological Association, 2020).
Dari sisi psikologis, keputusan untuk vasektomi sering mencerminkan kesiapan pria untuk mengambil tanggung jawab perencanaan keluarga, bahkan rela menanggung risiko prosedur demi mengurangi beban pasangan (Sharma et al., 2013).
Secara Sosiologis, vasektomi dapat dipandang sebagai langkah menuju kesetaraan gender dalam kesehatan reproduksi, di mana suami dan istri berbagi tanggung jawab, bukan hanya istri yang menanggung efek kontrasepsi hormonal atau prosedur seperti tubektomi (Gutmann, 2007).
Meski begitu, mengapa vasektomi masih jarang dilirik oleh pria di Indonesia? Pertama, kurangnya edukasi menjadi faktor utama. Banyak pria masih salah paham, mengira vasektomi sama dengan kebiri atau akan mengurangi kejantanan (BKKBN, 2019).
Kedua, faktor budaya dan stigma sosial turut berperan. Dalam budaya patriarkis, kontrasepsi sering dianggap "urusan perempuan", dan pria enggan mengambil langkah permanen yang dianggap mengubah "kodrat" mereka (Roudi-Fahimi, 2004).