Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fratelli Tutti: Seruan Paus Fransiskus untuk Persaudaraan di Dunia yang Terpecah

30 April 2025   13:00 Diperbarui: 30 April 2025   12:11 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: indoposco.id)

Fratelli Tutti: Seruan Paus Fransiskus untuk Persaudaraan di Dunia yang Terpecah

Di tengah dunia yang terbelah oleh konflik, ketimpangan, dan polarisasi, Paus Fransiskus menghadirkan Fratelli Tutti (2020), sebuah ensiklik yang bukan hanya refleksi teologis, tetapi juga kritik sosial yang tajam dan visi profetik untuk persaudaraan universal. Terinspirasi oleh Santo Fransiskus dari Asisi dan perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, dokumen ini menyerukan persahabatan sosial sebagai antidot terhadap ketidakpedulian dan ketidakadilan global.

Dalam konteks 2025, di mana krisis migrasi, polarisasi politik, dan ketimpangan ekonomi masih mendominasi, Fratelli Tutti menawarkan panduan moral yang mendesak dan relevan, termasuk bagi Indonesia yang kaya akan keberagaman. Tulisan ini menggali inti pesan ensiklik, kritik sosialnya, dan implikasinya dalam dunia yang terus bergejolak.

Inti Fratelli Tutti: Persaudaraan sebagai Jalan Perdamaian

Fratelli Tutti, yang berarti "Semua Bersaudara," mengajak umat manusia untuk mengakui bahwa kita adalah satu keluarga besar, anak-anak dari satu Pencipta. Paus Fransiskus menegaskan bahwa persaudaraan bukan sekadar ideal, melainkan panggilan untuk tindakan nyata, membangun "budaya perjumpaan" yang menghargai martabat setiap orang, terutama yang termarginalkan.

Ensiklik yang terdiri dari delapan bab ini, menguraikan visi dunia terbuka melalui solidaritas, dialog, dan keadilan sosial. Berpijak pada perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37), Paus mengkritik ketidakpedulian masyarakat modern dan mengajak kita menjadi "tetangga" bagi siapa pun, termasuk yang dianggap asing.

Diterbitkan di tengah pandemi COVID-19, Fratelli Tutti menyoroti kerapuhan sistem global, ketimpangan ekonomi, krisis migrasi, dan kegagalan kerja sama internasional. Namun, relevansinya melampaui pandemi, menawarkan kerangka untuk mengatasi tantangan 2025 seperti konflik di Gaza, polarisasi politik, dan krisis iklim. Paus juga menarik inspirasi dari Dokumen Persaudaraan Manusia (2019) bersama Imam Besar Al-Azhar, menegaskan bahwa agama harus menjadi kekuatan perdamaian, bukan perpecahan.

Kritik Sosial: Menyingkap Penyakit Dunia Modern

Fratelli Tutti adalah kritik sosial yang berani, mendiagnosis penyakit-penyakit yang merusak persaudaraan. Pertama, Paus mengecam individualisme dan budaya "buang", di mana orang miskin, migran, dan penyandang disabilitas diperlakukan sebagai barang sekali pakai (par. 18). Ia menyebut ini "globalisasi ketidakpedulian," terlihat dalam kesenjangan ekonomi yang mencolok dan konsumerisme yang merusak ikatan sosial. Di Indonesia, ketimpangan antara kota dan pedesaan serta marginalisasi pekerja informal mencerminkan kritik ini.

Kedua, Paus mengkritik kapitalisme neoliberal yang mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan manusia, menghasilkan "korban tunggal" (par. 18). Ia menolak dogma pasar bebas yang memperburuk ketimpangan, seperti terlihat selama pandemi ketika sistem kesehatan gagal melindungi yang rentan. Pada 2025, krisis utang dan eksploitasi lingkungan oleh industri ekstraktif menegaskan urgensi seruan Paus untuk ekonomi yang inklusif.

Ketiga, Paus menentang populisme dan nasionalisme eksklusif yang memecah belah masyarakat (par. 159). Populisme, yang memanipulasi emosi rakyat, dan nasionalisme yang menutup perbatasan, memicu xenofobia dan diskriminasi terhadap migran. Dalam konteks global, narasi anti-migran di Eropa dan Asia, serta polarisasi politik di banyak negara, mencerminkan tantangan ini. Di Indonesia, ketegangan berbasis identitas menjelang pemilu menunjukkan relevansi kritik Paus.

Keempat, Paus menyoroti ketidakpedulian terhadap migran, menyebut krisis migrasi sebagai ujian kemanusiaan (par. 39). Ia mengkritik negara-negara yang mengkriminalisasi pengungsi dan mengusulkan tata kelola global yang menghormati martabat mereka. Pada 2025, pengungsi Rohingya di Asia Tenggara dan pengungsi perang di Timur Tengah menegaskan perlunya solidaritas yang Paus serukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun