Paus Fransiskus: Sang Penabur Perdamaian melalui Tindakan Simbolis yang Menggetarkan
Di tengah dunia yang dirundung konflik, perpecahan, dan ketidakadilan, seorang pemimpin spiritual bangkit sebagai mercusuar harapan, menjembatani luka umat manusia dengan keberanian yang tak biasa. Paus Fransiskus, dengan jubah sederhana dan hati penuh kasih, telah menjelma sebagai hamba perdamaian, menyampaikan pesan persaudaraan melalui tindakan simbolis yang mengguncang hati dan pikiran.
Sebagai pemimpin 1,3 miliar umat Katolik, ia tidak hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi memperlihatkannya dalam gestur yang menyentuh jiwa, mengubah kontroversi menjadi pelajaran abadi tentang kemanusiaan. Dengan kerendahan hati sebagai pedoman dan cinta sebagai kompas, Paus Fransiskus telah mengukir kisah indah yang menginspirasi dunia untuk memilih damai di atas kebencian, pelayanan di atas keangkuhan.
Tindakan Simbolis yang Mengguncang Dunia
Paus Fransiskus dikenal karena keberaniannya melangkah melampaui norma, menggunakan tindakan sederhana untuk menyuarakan pesan universal. Salah satu momen paling ikonik terjadi pada April 2019 di Casa Santa Marta, Vatikan, selama retret untuk para pemimpin Sudan Selatan. Di tengah perang saudara yang telah merenggut lebih dari 400.000 nyawa dan mengungsikan jutaan orang, Paus, meski berusia 82 tahun dan menderita nyeri kaki, berlutut dengan susah payah.
Dengan penuh kerendahan, ia mencium kaki Presiden Salva Kiir, pemimpin oposisi Riek Machar, dan para wakil presiden, memohon dengan suara bergetar, "Saya memohon sebagai saudara, tetaplah dalam damai. Saya memohon dengan hati saya." Tindakan ini, yang mengejutkan dunia karena melanggar protokol kepausan, menjadi simbol kerendahan hati seorang pemimpin spiritual yang rela merendahkan diri demi perdamaian. Gestur ini menyoroti krisis Sudan Selatan di panggung global, mendorong para pemimpin untuk mempercepat dialog damai dan menghasilkan langkah konkret menuju gencatan senjata.
Pada Kamis Putih 2013, hanya sebulan setelah terpilih sebagai Paus, Fransiskus memberikan teladan kerendahan hati yang mengguncang tradisi. Alih-alih mengadakan ritual pembasuhan kaki di Basilika Santo Petrus, ia pergi ke penjara remaja Casal del Marmo di Roma.
Di sana, ia membasuh dan mencium kaki 12 narapidana, termasuk dua perempuan dan seorang Muslim, langkah yang belum pernah dilakukan paus sebelumnya. "Kita harus saling membantu. Inilah yang Yesus ajarkan," katanya, berlutut di lantai penjara. Tindakan ini menegaskan bahwa kasih Tuhan menjangkau semua orang, tanpa memandang agama, jenis kelamin, atau masa lalu, menginspirasi umat Katolik dan non-Katolik untuk merangkul mereka yang dianggap hina oleh dunia.
Kunjungannya ke kamp pengungsi Moria di Lesbos, Yunani, pada April 2016, adalah bukti lain dari komitmennya pada kemanusiaan. Bersama Patriark Ekumenis Bartholomew dan Uskup Agung Athena Ieronymos, Paus bertemu para migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan. Ia mendengarkan kisah mereka, memeluk anak-anak, dan berdoa bersama mereka.
Dalam gestur yang menarik perhatian dunia, ia membawa tiga keluarga pengungsi Suriah -total 12 orang, termasuk enam anak- kembali ke Vatikan dengan pesawat kepausan. "Mereka bukan angka, mereka adalah manusia," ujarnya, menyerukan solidaritas global untuk krisis migran. Tindakan ini meningkatkan kesadaran dunia dan mendorong organisasi kemanusiaan serta pemerintah untuk memperkuat perlindungan bagi pengungsi.