Kebijakan Energi Terbarukan: Apakah Indonesia Sudah Tepat Jalur?
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya dengan sumber daya alam, menghadapi tantangan besar dalam menentukan arah kebijakan energinya. Dengan komitmen global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, pemerintah Indonesia telah menempatkan energi terbarukan sebagai pilar utama dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Namun, perjalanan menuju pengembangan energi terbarukan tidaklah mulus, dan berbagai polemik muncul, salah satunya penolakan terbaru dari para uskup di Regio Nusra terhadap proyek geothermal.
Artikel ini mengupas keberhasilan, tantangan, serta potensi risiko jika Indonesia salah langkah, disertai bukti dan solusi yang perlu dipertimbangkan.
Kebijakan Energi Terbarukan: Fondasi dan Capaian
Kebijakan energi terbarukan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN. Target utamanya adalah meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Beragam sumber energi terbarukan -termasuk panas bumi (geothermal), tenaga surya, air, dan bioenergi- menjadi fokus pengembangan.
Hingga 2023, kapasitas pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 13.155 MW, dengan target 13.886 MW pada 2024. Rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 99,79%, sebuah prestasi signifikan dalam memperluas akses listrik. Indonesia memiliki potensi geothermal terbesar di dunia, diperkirakan mencapai 24-28 GW, serta potensi tenaga surya yang besar karena letak geografisnya yang strategis. Proyek pembangkit seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla menjadi contoh konkret dalam memanfaatkan potensi ini.
Meski demikian, capaian ini masih jauh dari target. Dewan Energi Nasional (DEN) bahkan menyesuaikan target bauran energi 2025 dari 23% menjadi 17-19%, mengindikasikan tantangan serius dalam proses implementasi. Berbagai faktor seperti birokrasi yang rumit, keterbatasan infrastruktur, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara yang lebih ekonomis, menghambat kemajuan tersebut.
Polemik dalam Implementasi: Kasus Regio Nusra dan Padarincang
Implementasi kebijakan energi terbarukan juga sering memicu konflik sosial dan lingkungan. Salah satu polemik terbaru terjadi di Regio Nusra, khususnya di wilayah Poco Leok dan Daratei, Mataloko, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada Maret 2025, enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah yang secara tegas menolak proyek geothermal di wilayah mereka. Penolakan ini didasari kekhawatiran tentang dampak lingkungan, seperti potensi pencemaran air tanah dan emisi gas beracun, yang pernah terjadi di PLTP Lahendong, Sulawesi Utara. Masyarakat adat Poco Leok juga memperjuangkan hak atas tanah mereka, yang dianggap terancam oleh proyek tersebut.
Polemik serupa muncul di Padarincang, Banten, di mana warga lokal memprotes proyek geothermal dengan ketidakpuasan yang mendalam terhadap dampak yang dialami. Aksi protes yang mencakup long march dari Banten menuju Jakarta menunjukkan ketegangan antara kebijakan energi nasional dan realitas di lapangan. Masyarakat menuntut dialog yang transparan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan, serta kejelasan mengenai manfaat proyek bagi mereka.
Polemik ini mencerminkan masalah sistemik yang lebih luas, seperti kurangnya sosialisasi, dampak sosial-ekologis yang tak terduga, dan ketidakpastian hukum. Selain itu, birokrasi perizinan yang panjang dan praktik korupsi sering menjadi penghalang bagi investor untuk menanamkan modal dalam sektor energi terbarukan, sementara subsidi untuk energi fosil masih jauh lebih besar daripada untuk energi terbarukan.