Visualisasi Kisah Sengsara Tuhan Yesus: Antara Peragaan dan Pemaknaan
Kisah Sengsara Tuhan Yesus, atau Passion of Christ, adalah narasi sentral dalam tradisi Kristen yang menggambarkan penderitaan, penyaliban, dan kematian Yesus Kristus. Kisah ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan historis, tetapi juga sebagai sumber makna teologis tentang kasih, pengorbanan, dan penebusan.
Di berbagai belahan dunia, -termasuk hari ini, Jumat 18 April 2025 di Paroki Min0martani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta- kisah sengsara divisualisasikan melalui tablo, drama, atau jalan salib hidup, seperti yang terkenal di Oberammergau (Jerman), San Fernando (Filipina), atau komunitas lokal di Indonesia. Namun, muncul pertanyaan mendasar: Apakah pementasan ini sekadar peragaan peristiwa Injil untuk mengaduk-aduk sisi emosional umat, atau mampukah ia menjadi pengalaman rohani yang mentransformasi iman para pemeran dan penonton? Catatan di bawah ini saya buat pasca menonton pementasan kisah Sengara Tuhan Yesus sekaligus sebuah pemaknaan untuk diri saya sendiri. Syukur-syukur bisa menginspirasi pembaca.Â
Tablo sebagai Peragaan: Menelusuri Tradisi dan Tantangannya
Tablo atau drama sengsara bertujuan menghidupkan peristiwa-peristiwa dalam Injil, mulai dari pengkhianatan Yudas, pengadilan Yesus, hingga penyaliban. Tradisi Passion Play di Oberammergau, yang dimulai pada 1634 sebagai respons atas wabah, melibatkan ribuan aktor dan penonton dalam pementasan megah setiap sepuluh tahun (Wiersbe, 2004). Di Filipina, praktik seperti Senakulo atau penyaliban simbolis di San Fernando mencerminkan devosi yang intens, meskipun kontroversial karena elemen kekerasan nyata (Tiatco, 2016). Di Indonesia, jalan salib hidup sering diadakan di gereja-gereja Katolik, seperti di Larantuka, Flores, atau komunitas paroki di Jawa, dengan umat memerankan Yesus, Maria, algojo, atau orang banyak (Steenbrink, 2007).
Namun, peragaan ini berisiko menjadi tontonan semata. Para pemeran, terutama yang memainkan algojo atau orang Yahudi, mungkin hanya fokus pada aspek teknis seperti dialog atau gerakan tanpa penghayatan rohani. Tanpa bimbingan teologis, penggambaran stereotip -misalnya, orang Yahudi sebagai antagonis utama- dapat memperkuat narasi antisemit yang keliru (Carroll, 2001). Hans Urs von Balthasar, dalam karyanya Theo-Drama (1988), memperingatkan bahwa pementasan sengsara yang hanya menekankan drama eksternal dapat kehilangan "misteri ilahi" yang menjadi intinya.
Pemaknaan Spiritual: Menghidupi Kisah Sengsara
Agar tablo melampaui peragaan, ia harus menjadi sarana kontemplasi dan transformasi. Dalam spiritualitas Ignasian, umat diajak untuk "memasuki" kisah Injil melalui imajinasi rohani, merenungkan emosi dan panggilan iman dari setiap tokoh (Ignatius of Loyola, 1991). Seorang pemeran Yesus, misalnya, dipanggil untuk merenungkan beban dosa umat manusia, sementara pemeran Pilatus atau algojo harus menghayati dilema moral yang mencerminkan kelemahan manusia secara universal. Pendekatan ini membantu pemeran melihat peran mereka sebagai cermin pertobatan, bukan sekadar lakon.
Beberapa tradisi telah menerapkan pendekatan ini. Di Oberammergau, para aktor menjalani retret rohani dan diskusi teologis selama berbulan-bulan sebelum pementasan (Wiersbe, 2004). Di Larantuka, Indonesia, jalan salib diintegrasikan dengan ritual Semana Santa, termasuk adorasi Sakramen Mahakudus dan pengakuan dosa, menciptakan pengalaman sakral yang mengundang pertobatan (Prior, 2015). Paus Yohanes Paulus II, dalam Novo Millennio Ineunte (2001), menegaskan bahwa devosi seperti jalan salib harus mengarah pada "pertemuan pribadi dengan Kristus yang tersalib," bukan hanya ritual luar.
Tantangan tetap ada. Bagi penonton, tablo yang terlalu teatrikal bisa menjadi hiburan, bukan pengalaman iman. Bagi pemeran peran "jahat," seperti algojo, kurangnya bimbingan rohani dapat memunculkan rasa bersalah atau alienasi. Teolog James Alison (2006) menekankan bahwa algojo dalam kisah sengsara adalah simbol dosa kolektif umat manusia, dan memerankan mereka harus menjadi kesempatan untuk merenungkan kebutuhan akan penebusan.
Penghayatan spiritual dalam kisah sengsara memunculkan kesadaran akan perjalanan batin yang dialami setiap manusia. Tokoh-tokoh dalam pementasan bukanlah sekadar karakter, tetapi cerminan dari keraguan, penderitaan, dan harapan dalam diri dan hidup kita. Saat kita merenungkan beban yang ditanggung Kristus, kita juga diingatkan akan kesalahan dan penyesalan kita sendiri. Pengalaman ini menciptakan ruang untuk pertobatan, di mana kita mendapati harapan di tengah kegelapan dan menemukan kembali relasi yang lebih erat dengan Tuhan.
Di sisi lain, memerankan karakter-karakter dalam kisah sengsara meningkatkan empati kita terhadap sesama. Saat kita mengalami dilema moral seperti yang dihadapi Pilatus atau algojo, kita diingatkan akan kompleksitas sifat manusia: kebaikan dan keburukan yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, pengalaman ini bukan hanya untuk refleksi pribadi, tetapi juga untuk membangun kesadaran kolektif tentang tanggung jawab kita dalam menciptakan komunitas yang penuh kasih. Melalui refleksi ini, kita diajak untuk menembus batasan ego dan berkontribusi pada dunia yang lebih baik, di mana pengertian dan kasih mengalahkan kebencian.