Wisata Sejarah di Indonesia: Mengapa Minatnya Masih Rendah?
Indonesia, negara dengan kekayaan sejarah yang luar biasa, menyimpan banyak situs bersejarah yang menjadi saksi perjalanan bangsa. Mulai dari candi-candi megah seperti Borobudur dan Prambanan, benteng peninggalan kolonial seperti Benteng Rotterdam di Makassar, hingga museum-museum yang memamerkan koleksi berharga tentang perjuangan kemerdekaan.Â
Namun, meski memiliki potensi besar, minat masyarakat terhadap wisata sejarah masih rendah. Apakah ini disebabkan oleh mahalnya tiket masuk, kurangnya sosialisasi, atau faktor lainnya? Melalui tulisan pertama pagi ini saya akan mencoba untuk mengupas (tidak sungguh tuntas sih) penyebab rendahnya minat wisata sejarah di Indonesia.
Potensi Wisata Sejarah di Indonesia
Indonesia memiliki lebih dari 1.300 situs cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah. Situs-situs ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya nasional tetapi juga menawarkan pengalaman edukatif yang mendalam. Contohnya, Candi Borobudur yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO menarik ribuan wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Namun, jumlah pengunjung domestik justru cenderung stagnan.
Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun 2022, kunjungan ke situs sejarah di Indonesia hanya mencapai sekitar 30% dari total kunjungan wisata secara keseluruhan. Angka ini menunjukkan bahwa wisata sejarah belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat lokal.
Faktor Penyebab Rendahnya Minat Wisata Sejarah
Mengunjungi situs-situs bersejarah seharusnya menjadi pengalaman yang memperkaya wawasan dan memperdalam rasa cinta terhadap sejarah bangsa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah cenderung rendah. Berbagai faktor berkontribusi terhadap fenomena ini, mulai dari aspek ekonomi, sosialisasi, hingga pengaruh budaya digital. Mari kita telaah lebih dalam penyebab-penyebab utama yang memengaruhi rendahnya minat masyarakat terhadap wisata sejarah.
1. Mahalnya Tiket Masuk, Benarkah?
Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah mahalnya harga tiket masuk ke situs-situs sejarah. Misalnya, tiket masuk ke Candi Borobudur untuk wisatawan lokal saat ini berkisar Rp 50.000 hingga Rp 75.000 per orang. Bagi sebagian masyarakat, harga ini dianggap cukup tinggi dibandingkan dengan destinasi wisata modern seperti taman rekreasi atau pantai.
Namun, menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) pada tahun 2021, hanya 20% responden yang menyebutkan harga tiket sebagai alasan utama mereka enggan mengunjungi situs sejarah. Artinya, mahalnya tiket bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi minat masyarakat.
2. Kurangnya Sosialisasi dan Edukasi
Faktor utama yang lebih signifikan adalah minimnya sosialisasi tentang pentingnya wisata sejarah. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, tidak memahami nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam situs-situs tersebut. Akibatnya, mereka cenderung lebih tertarik pada destinasi wisata yang bersifat hiburan atau fotogenik.
Pendidikan sejarah di sekolah-sekolah juga kerap diabaikan. Menurut hasil penelitian Pusat Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), hanya 35% siswa sekolah menengah atas yang merasa tertarik pada pelajaran sejarah. Kurangnya pemahaman tentang sejarah membuat generasi muda kurang terhubung dengan situs-situs bersejarah.