Premanisme Berkedok Legalitas: Antara Pemerasan, Ketiadaan Negara, dan Solusi untuk Keadilan Sosial
Kasus penangkapan Jagoan Cikiwul, preman Bekasi yang meminta THR ke perusahaan, menguak kembali wajah buram premanisme di Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar aksi kriminal biasa, melainkan praktik sistematis yang melibatkan ormas atau kelompok berkedok legalitas untuk memeras korporasi. Bagaimana negara menyikapi hal ini? Tulisan ini akan mengupas wajah premanisme, mengkritisi ketidakhadiran negara, dan menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini.
Wajah Premanisme di Indonesia: Dari THR Hingga Pemerasan Sistematis
Premanisme di Indonesia telah menjelma menjadi "beban tak kasat mata" bagi pelaku usaha. Oknum ormas sering memanfaatkan momentum seperti Ramadan untuk meminta THR secara paksa, dengan ancaman intimidasi. Aksi ini tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi, terutama di kawasan industri. Bahkan, praktik premanisme di Indonesia disebut lebih parah daripada di Vietnam, di mana ormas lokal justru mengganggu operasional pabrik hingga menutup akses produksi.
Kementerian Investasi melalui Wameninves menegaskan bahwa tindakan meminta THR ke perusahaan secara paksa tidak memiliki dasar hukum. Namun, minimnya penegakan hukum membuat praktik ini terus terjadi. Korban pemerasan seringkali enggan melapor karena takut terhadap ancaman fisik atau ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan.
Mengapa Lembaga Premanisme Bisa Eksis?
Lembaga atau ormas yang bertransformasi menjadi kelompok premanisme umumnya lahir dari kekosongan regulasi yang jelas. Mereka memanfaatkan celah hukum untuk mengklaim diri sebagai "penjaga ketertiban" atau "pembela hak rakyat", padahal tujuan utamanya adalah memeras keuntungan. Beberapa oknum ormas bahkan diduga memiliki koneksi dengan aparat, sehingga merasa kebal hukum.
Selain itu, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas ormas memperparah situasi. Misalnya, tidak ada mekanisme yang jelas untuk memverifikasi tujuan dan kegiatan ormas, sehingga mereka bisa beroperasi tanpa kontrol.
Payung Hukum yang Mandul dan Ketidakhadiran Negara
Indonesia sebenarnya memiliki UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengatur larangan ormas melakukan tindakan anarkis atau mengganggu ketertiban umum. Namun, aturan ini jarang diterapkan secara tegas. Ketiadaan sanksi yang berat membuat pelaku premanisme tidak jera.
Negara juga sering absen dalam melindungi korban. Banyak perusahaan yang akhirnya "berdamai" dengan membayar sejumlah uang demi menghindari konflik, meski hal ini justru memperkuat budaya pemerasan. Padahal, seperti kata Dedi Mulyadi, "tak ada tempat bagi premanisme" dalam masyarakat yang beradab.
Solusi: Menuju Penegakan Hukum dan Rekonstruksi Sistemik
Untuk mengatasi masalah premanisme, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan. Pertama, penegakan hukum harus dilakukan tanpa kompromi. Negara harus menindak tegas ormas atau kelompok premanisme tanpa pandang bulu. Contoh penangkapan Jagoan Cikiwul perlu dijadikan preseden untuk menunjukkan bahwa tidak ada toleransi bagi pemerasan berkedok ormas. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Kedua, reformasi regulasi ormas harus segera dilakukan. Pemerintah perlu merevisi UU Ormas dengan memperketat mekanisme pendirian, pemantauan, dan pembubaran ormas. Setiap aktivitas ormas harus terbuka dan tercatat dalam sistem yang transparan. Dengan demikian, ormas yang menyalahgunakan kekuasaannya dapat dengan mudah diidentifikasi dan dibubarkan.