Mindful Eating saat Sahur & Berbuka: Perspektif Islam dan Katolik dalam Memelihara Tubuh dan Jiwa
Mindful eating, atau kesadaran penuh dalam menyantap makanan, bukan hanya tren kesehatan modern, tetapi juga ajaran luhur yang terkandung dalam tradisi agama. Baik dalam Islam maupun Katolik, praktik makan dengan kesadaran dan syukur menjadi sarana untuk menghormati tubuh sebagai karunia ilahi sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan.
Melalui artikel pagi ini saya mencoba untuk mengeksplorasi perspektif kedua agama mengenai mindful eating, khususnya dalam konteks sahur dan berbuka puasa Ramadan (Islam) serta praktik puasa dan kesadaran spiritual (Katolik).
Perspektif Islam: Kesadaran dalam Sahur dan Berbuka sebagai Ibadah
Dalam Islam, sahur (makan sebelum fajar) dan berbuka (makan setelah matahari terbenam) adalah momen sakral selama Ramadan. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat keberkahan" (HR. Bukhari). Namun, keberkahan ini tidak hanya terletak pada waktu makannya, tetapi juga pada cara menyantapnya. Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berlebihan, seperti firman Allah dalam QS. Al-A'raf (7:31): "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan." (Klikaktual)
Mindful eating dalam Islam berarti menyadari bahwa makanan adalah nikmat yang patut disyukuri, bukan sekadar pelampiasan nafsu. Saat berbuka, umat Muslim dianjurkan untuk memulai dengan kurma atau air putih, lalu menunda makan besar hingga selesai salat Maghrib.Â
Praktik ini mengajarkan kesabaran, kepekaan terhadap kebutuhan tubuh, dan penghindaran dari rakus. Selain itu, QS. Al-Baqarah (2:172) mengingatkan: "Wahai orang-orang beriman, makanlah makanan yang halal dan baik." Makanan halal dan thayyib (baik) menjadi fondasi untuk menjaga kesucian jiwa dan raga.
Perspektif Katolik: Makan sebagai Persembahan dan Kesadaran Ekaristis
Dalam Katolik, tubuh manusia dianggap sebagai "bait Roh Kudus" (1 Korintus 6:19-20), sehingga menjaganya melalui pola makan yang seimbang adalah bagian dari iman. Praktik puasa dan pantang selama Masa Prapaskah mengajarkan umat untuk tidak hanya mengendalikan nafsu, tetapi juga memaknai setiap suap makanan sebagai persembahan kepada Tuhan. Yesus sendiri berpuasa 40 hari di padang gurun (Matius 4:1-11), menunjukkan bahwa pengendalian diri adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah.
Mindful eating dalam Katolik juga terkait dengan makna Ekaristi, di mana roti dan anggur menjadi simbol tubuh dan darah Kristus. Setiap kali umat Katolik makan, mereka diajak untuk mengingat bahwa makanan adalah anugerah yang harus dinikmati dengan hati-hati, bukan dihabiskan dengan serakah (Amsal 25:16).Â
Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus, mendorong umat untuk makan dengan "mata hati terbuka", memperhatikan bagaimana makanan memelihara tubuh untuk pelayanan kasih. Dengan demikian, makan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi bagian dari panggilan untuk menjadi "penjaga kehidupan" (Kejadian 2:15).
Kesamaan Nilai: Syukur, Kesederhanaan, dan Kedekatan dengan Tuhan
Baik Islam maupun Katolik menekankan bahwa makan dengan kesadaran adalah bentuk ibadah. Kedua agama mengajarkan untuk: