Di Antara Puasa dan Syukur: Sebuah Perjalanan Batin di Hari Ulang TahunÂ
Hari ini, 7 Maret, adalah hari yang istimewa. Di usia ke-51, aku berdiri di persimpangan waktu, merenungkan rahmat dan berkat Tuhan yang tak terhitung. Di tengah puasa Jumat sebagai seorang Katolik dan Ramadan bagi sahabat-sahabat Muslim, aku menemukan momen yang dalam untuk merenung, bersyukur, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak-Nya. Ini bukan sekadar ulang tahun, melainkan sebuah perjalanan batin yang menghubungkan puasa, syukur, dan pertumbuhan diri.
Puasa: Jembatan Menuju Kesadaran Batin
Puasa selalu menjadi momen yang khusyuk. Bagi kami orang Katolik, puasa Jumat adalah waktu untuk menahan diri, merenung, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Tahun ini, puasa itu terasa lebih bermakna karena bertepatan dengan Ramadan, bulan suci bagi sahabat-sahabat Muslim. Ada sebuah kesamaan yang indah: puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membersihkan hati dan pikiran.
"Apakah aku sudah cukup bersyukur? Apakah aku sudah hidup sesuai dengan kehendak-Nya?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mengalir pelan, seperti air yang menetes di batu, mengikis ego dan kesombongan. Puasa mengingatkanku bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang kumiliki, tetapi seberapa dalam aku bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap detik kehidupan.
51 Tahun: Sebuah Catatan Syukur
Menginjak usia 51 tahun adalah sebuah anugerah. Bukan sekadar angka, melainkan kumpulan momen, cerita, dan pelajaran hidup. Aku teringat pada setiap tantangan yang berhasil kulewati, setiap tawa yang pernah kulepaskan, dan setiap air mata yang pernah kuteteskan. Semuanya adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah.
"Tuhan, terima kasih untuk setiap napas, setiap detak jantung, dan setiap kesempatan yang Kau berikan. Aku mungkin tidak selalu mengerti jalan-Mu, tetapi aku percaya bahwa Engkau selalu menyertaiku."
Di usia ini, aku belajar bahwa syukur bukan hanya tentang mengucap terima kasih, tetapi juga tentang menerima segala sesuatu dengan lapang dada, baik suka maupun duka.
Menyerahkan Diri pada Kehendak-Nya
Di ulang tahun kali ini, aku memutuskan untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Bukan lagi aku yang memegang kendali, tetapi Dia yang mengarahkan langkahku. Ini bukanlah kepasifan, melainkan sebuah keputusan sadar untuk percaya bahwa rencana-Nya selalu lebih baik daripada rencanaku.
"Tuhan, aku menyerahkan semua mimpiku, rencanaku, dan harapanku pada-Mu. Aku percaya bahwa Engkau tahu apa yang terbaik untukku. Bimbinglah aku ke jalan-Mu, dan jadikanlah hidupku sebagai alat untuk memuliakan nama-Mu."