Rapat di Pinggir Hutan: Antara Rujak, Rertet, dan Rasa Kecewa
Di Kerajaan Ambanivolo, sebuah pertemuan penting diadakan oleh sejumlah kepala desa di pinggiran hutan. Acara ini disebut "Rertet Pinggiran Hutan," sebuah tradisi yang katanya harus diikuti oleh semua kepala desa. Namun, di balik gelar megahnya, sebagian besar peserta sebenarnya datang bukan karena antusiasme, melainkan karena takut dianggap "raja kecil pemberontak" oleh raja mereka, Baginda Ambakora.
Sejak pagi buta, kepala-kepala desa itu sudah berkumpul, mengantre dengan wajah setengah mengantuk, setengah kesal. Kepala Desa Sampariwa, yang terkenal paling kritis, berbisik ke rekannya, Kepala Desa Lontapaga, "Ini rapat penting apanya? Setiap tahun kita hanya duduk di sini mendengar ceramah panjang yang ujung-ujungnya suruh gotong royong bersihkan pasar."
Lontapaga mengangguk. "Iya, tahun lalu aku pikir bakal ada kebijakan baru soal pajak desa. Eh, yang ada kita cuma disuruh beli oleh-oleh buat keluarga raja!"
Sementara mereka menggerutu, Baginda Ambakora akhirnya datang, didampingi para pengawal dan penasihat kerajaan. Dengan suara lantang, ia membuka rapat, "Saudara-saudara, kita berkumpul di sini untuk membahas kemajuan desa-desa kita!"
Beberapa kepala desa hanya bisa menghela napas. "Kemajuan apanya? Kita cuma dikasih tugas tambahan tiap tahun!" gumam seorang kepala desa di barisan belakang.
Puncak kekecewaan terjadi saat raja mengumumkan sesi makan siang. Para peserta berharap hidangan mewah, tetapi yang disajikan justru rujak buah dan ubi rebus. Kepala Desa Sampariwa tak bisa menahan diri, "Saya kira kita bakal makan besar, Baginda. Kok ini malah cemilan orang capek?"
Raja hanya tersenyum. "Rujak dan ubi itu makanan penuh filosofi! Rujak melambangkan keberagaman desa-desa kita, dan ubi mengajarkan kita kesederhanaan."
Seketika, suasana hening. Beberapa kepala desa menatap ubi rebus di tangan mereka dengan pandangan kosong. Lontapaga mendesah, "Mungkin tahun depan kita harus pura-pura sakit supaya tidak ikut Rertet Pinggiran Hutan."
Namun, semua tahu, jika mereka tidak datang, mereka bakal dicap "raja kecil pemberontak," dan itu lebih berisiko daripada sekadar makan ubi rebus. Akhirnya, mereka pasrah, menyantap rujak dan ubi dengan senyum terpaksa, menanti tahun depan untuk kekecewaan yang sama.