Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kopi, Senja, dan Pejabat yang Dingin

19 Februari 2025   19:03 Diperbarui: 19 Februari 2025   19:03 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kopi, Senja, dan Pejabat yang Dingin

Kopi pahit mengalir di tengah senja yang membeku,
Seperti janji-janji yang menguap di udara dingin.
Pejabat duduk di menara gading,
Membuat aturan yang tak menyentuh tanah,
Hanya angka dan kertas, bukan darah dan peluh.

Senja merah memudar, dingin menusuk tulang,
Rakyat menanti, tapi yang datang hanya angin kosong.
Mereka butuh roti, bukan retorika,
Butuh pendidikan, bukan sekadar makan siang yang mubazir.

Kopi dan senja tetap setia menemani,
Tapi pejabat? Mereka hanya asing di negeri sendiri.
Aturan dibuat, tapi tak pernah menyapa,
Seperti senja yang indah, tapi tak pernah hangatkan jiwa.

Puisi di atas menggambarkan ironi antara kenyataan hidup rakyat dan kebijakan yang dibuat oleh para pejabat. Masalah utama yang diangkat adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap kebutuhan nyata rakyat. Misalnya, kelangkaan gas elpiji yang sering terjadi di berbagai daerah. Rakyat kecil kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara pejabat sibuk membuat aturan yang tidak menyentuh akar persoalan. Kelangkaan gas bukan hanya soal distribusi, tetapi juga kebijakan yang tidak pro-rakyat.

Contoh lain adalah program makan siang gratis yang mubazir. Alih-alih memberikan solusi jangka panjang seperti pendidikan gratis selama sekolah atau kuliah, pemerintah justru memberikan bantuan sekali pakai. Padahal, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang bisa mengubah nasib rakyat. Makan siang gratis mungkin membantu sesaat, tetapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan struktural.

Belajar dari pengalaman, solusi yang dibutuhkan adalah kebijakan yang holistik dan berkelanjutan. Misalnya, alihkan anggaran untuk program-program seremonial ke pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Pendidikan gratis selama 12 tahun sekolah dan subsidi kuliah untuk keluarga kurang mampu adalah langkah konkret yang bisa mengubah masa depan bangsa. Selain itu, pemerintah perlu mendengarkan suara rakyat secara langsung, bukan hanya melalui data dan laporan yang seringkali tidak akurat.

Solusi lain adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan kebijakan. Pejabat harus turun ke lapangan, merasakan langsung penderitaan rakyat, dan membuat aturan yang benar-benar dibutuhkan. Misalnya, jika ada kelangkaan gas, pemerintah harus segera memperbaiki sistem distribusi dan memberikan subsidi yang tepat sasaran. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat tidak hanya baik di atas kertas, tetapi juga baik dalam pelaksanaan dan hasilnya.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa kopi dan senja mungkin tetap setia menemani, tetapi tugas kita sebagai manusia adalah memastikan bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak hanya menjadi mimpi di tengah dinginnya realita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun