Bintang di Balik Badai
Malam itu, langit tertutup awan kelabu yang tebal. Hujan deras mengguyur Kota Melati tanpa ampun, seolah-olah alam sedang menangis atas kehancuran yang terjadi di bumi. Di sebuah sudut kota, tepatnya di sebuah gubuk sederhana, duduk seorang gadis muda bernama Lila. Dia memeluk lututnya erat, mencoba menahan dingin dan kesedihan yang merayap masuk.
Lila baru saja kehilangan pekerjaannya di toko roti tempat dia bekerja selama tiga tahun. Pemilik toko, yang juga teman dekatnya, dipaksa menutup usahanya karena pandemi yang tak kunjung berakhir. Kini, Lila hanya memiliki dua pilihan: menyerah pada rasa putus asa atau mencari jalan lain untuk bertahan hidup.
**
Pagi berikutnya, hujan reda, tapi mendung masih menggantung di langit. Lila melangkah keluar dari rumahnya dengan hati berat. Ia harus mencari pekerjaan baru, tetapi di tengah situasi ekonomi yang lesu seperti ini, harapan rasanya begitu tipis. Saat berjalan menyusuri jalan setapak menuju pusat kota, ia melewati sebuah taman kecil. Di sana, ia melihat seorang anak kecil duduk sendirian di bawah pohon besar. Gadis kecil itu tampak sedang menangis.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Lila lembut sambil mendekat.
"Boneka kesayanganku hilang," jawab gadis kecil itu sambil menyeka air mata. "Aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi tidak ketemu."
Lila tersenyum kecil. Meskipun hatinya juga sedang terluka, ia merasa perlu membantu gadis kecil itu. Mereka berdua mulai mencari boneka itu bersama-sama. Setelah beberapa saat, mereka akhirnya menemukannya tersangkut di semak-semak. Mata gadis kecil itu langsung berbinar bahagia.
"Terima kasih, Kakak!" katanya dengan senyum lebar. "Kakak hebat sekali!"
Lila tertawa kecil, meskipun dalam hati ia merasa ironis. Jika ia benar-benar hebat, kenapa ia gagal menjaga pekerjaannya? Namun, ada sesuatu dalam senyum polos gadis kecil itu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan.