Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Berbenum Diri di Tengah Para Senior

31 Juli 2021   13:26 Diperbarui: 31 Juli 2021   14:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar dari Senior di rumah, dokpri (21/06/211)

"Berdiam dan belajar dari para tuah", itulah salah satu hikmah yang dipesankan oleh bapak kepada saya. Pesan ini sungguh melekat dan kini terpikat dalam perjalanan hidup pribadi saya. Kenapa tidak, sejak bekerja saya selalu berada di tengah para senior saya. Pindah dari satu tempat ke tempat lain, pun berada di tengah para senior. Bahkan hingga saat ini. Rasanya tak terelakkan. 

Mungkinkah ini sebagai relevansi dari kata-kata hikmah bertuah dari bapak saya? Jika pada level ini, saya berbenum diri, yang saya temukan adalah suatu kemungkinan yang tak terelakan. 

Berdiam dan belajar adalah kata-kata dengan syarat makna. Berdiam bukan berarti kalimat pasif. Berdiam adalah kalimat aktif; manakala aktif dan ikutserta dalam belajar dan mengambil hikmah. Inilah menjadi bekal perjalanan untuk meniti hari esok dalam bekerja. 

Berdiam dan belajar, adalah sikap terbaik dan terbuka terhadap suatu situasi, baik itu internal diri sendiri maupun situasi ekternal ketika berhadapan dengan senioritas. Memang senioritas versus junioritas, terdengar ada berkelang, ada berjenjang. Namun, hal ini harus dimaknai sebagai sebuah tugas dan tanggungjawab dalam diri untuk hadir dan berada bersama mereka.

Senioritas versus junioritas mungkin saja berbeda. Beda dalam pengalaman dan beda juga dalam berperilaku. Ada sikap egosentris dari senioritas. Ada sikap rendah diri dari junioritas. Ini hemat saya biasa sekali. Jika ditilik kedalaman kata senioritas versus junioritas, inikan hanya suatu perasaan. Perasaan itu, terkadang membekukan daya nalar kita. Perasaan itu juga terkadang menciutkan nyali diri kita. 

Perasaan semacam inilah yang harus diolah didalam diri. Sehingga kehadiran diri di tengah senioritas, menjadi sesuatu yang tidak menakutkan. Jika junioritas merasakan hal ini sebagai suatu perilaku, maka lebih bagus mengambil sikap diam dan belajar dari senioritas. Mungkin ini cara terbaik.

Dalam diam dan belajar, muncullah sikap rendah hati. Sikap rendah hati, menunjukkan bahwa masih ada "peluang waktu" untuk bangkit dan menempatkan diri dalam koridor tugas dan tanggungjawab diri. 

Dari pengalaman pribadi berada di tengah senioritas, saya justru ditempah. Saya dilatih untuk menghadapi mereka-mereka yang terbilang senior, senior karena umur, senior karena jenjang pendidikan, senior karena banyak asam garam dalam bekerja, senior dalam ide-ide cemerlang, dan lain sebagainya. Segala kesenioran seperti ini justru mendorong saya untuk mengambil langkah, berdiam dan belajar dengan bersikap rendah hati dan membangkit diri untuk berani bertanggungjawab.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa selama ini ketika hadir dan berada di tengah senioritas, syarat akal seha dan menjalankan tatakrama menjadi modal saya hidup bersama para senior di tempat kerja. Mungkin beruntung karena hampir 20-an tahun bekerja di tengah senioritas tidak mendapat teguran atau sikap marah dari senior. 

Pengalaman lain yang tak kalah penting, selama bekerja di tengah senioritas adalag berani masuk dalam pola berpikir dan kerja mereka. Disinilah selalu saya mengandalkan juga akal sehat dan bersikap dengan tatakrama yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun