Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sharing, Obat "Toxic Positivity", Selalu Ada Waktu untuk Diri Sendiri

28 Juli 2021   15:16 Diperbarui: 28 Juli 2021   15:39 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: dalam kesempatan refleksi diri (12/7/2019)

Saya tidak tahu ini teori dari siapa. Bahwa semua perasaan entah gembira atau duka dengan berbagai faktor, dapat digeneralisir kepada sesuatu yang nota bene berlawanan. Tanpa sadar, hal inilah yang sering saya jalani. Bahkan saya sendiri menolak untuk tidak punya waktu untuk diri sendiri. Situasi ini benar-benar saya alami ketika bertugas di pulau-pulau, jauh dari keramaian, komunikasi seluler, dll. 

Saya sendiri menjadi orang yang terasing. Pagi kerja sampai sore. Bahkan malam hari masih berjumpa dengan banyak orang lain lagi. Hal semacam ini, dijalankan semacam rutinitas. 

Saya hampir-hampir tidak sadar lagi dengan berbagai macam aktivitas saya. Mungkin terpikir saat itu, ah... masih muda. Masih kuat dan masih dapat berjumpa dan berkumpul dengan banyak orang. 

Suatu kesempatan yang saya sadari sebagai ujung dari rutinitas kerja selama 3,5 adalah mengalami suatu sikap yang seakan menolak hal-hal yang berlawanan dengan kegembiraan. Saya justru memakai jurus dengan menggeneralisir situasi. Membuat diri happy dan menolak rasa sedih yang hadir dalam diri saya. Apa yang terjadi saat itu?

Dalam kamar ukuran 4x3 di lantai 2 gedung itu, saya mengurung diri mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam kesendirian itu, rasa sedih memuncak menjadi rasa takut. Rasa takut berakibat pada badan yang mengeluarkan banyak keringat. Awalnya, saya merasa masih biasa-biasa saja. Dan terpikir dibenak saya, mungkin inilah kelelahan yang terkumpul selama ini.

Sore menjelang maghrib, perasaan berubah. Bukan sedih atau gembira tetapi lemas. Dalam rasa lemas, muncul pikiran bahwa harus berani mengambil sikap untuk pergi ke dokter atau duduk di kamar dengan menjalankan meditasi fisik. Makhlum hal ini diambil karena saya juga adalah seorang yang pernah mengikuti latihan bela diri. 

Tindak untuk duduk di kamar dan menjalan meditasi itulah keputusan saya. Dengan rasa lemas pada badan, tetapi karena niat untuk melakukan meditasi maka berusaha untuk bangkit dari kursi untuk menyiapkan perlengkapan bermeditasi. 

Pertama, saya menggantikan pakaian dengan pakaian yang longgar. Biar bisa duduk bersila dan dapat mengatur pernapasan.  Kedua, menyaipkan tikar dan bantal duduk. Membantu duduk biar tidak kecapean dan menahan rasa sakit (sikap antisipatif).  Ketiga, menyiapkan fisik tubuh dengan melakukan gerakan ringan. Dan keempat, menyiapkan musik dan untaian doa yang akan mengiringi proses meditasi saya.

Setelah semua ini disiapkan, saya mencoba untuk melakukan meditasi. Saya duduk diatas tikar dengan beralaskan bantal. Saya membuka musik dengan suara kecil dan membantu konsentrasi saya. Saya melipat kaki. Saya tutup mata dan kedua tangan saya diletakan di atas kedua paha kaki saya.

Menit-menit pertama adalah sebuah tantangan. Karena rasa sakit dan benar-benar capek. Namun dalam diri saya muncul pikir bahwa harus melawani rasa itu. Maka saya berani untuk bertahan dan berdamai dengan segala hambatan fisik saya. Lama kelamaan, segala rasa sakit pun mulai hilang. Rasa capek pun demikian. Perlawanan dalam diri semacam antibodi yang dibangkitkan untuk melawan rasa tadi.

Namun itu semua bukan tujuan. Tujuan ialah supaya saya dapat mengolah diri dengan menerima rasa suka duka atau rasa sedih dan gembira didalam diri saya. Bukan mengeneralisir semua atau sebagian sedih atau duka kepada gembira dan suka. 

Proses meditasi terus berjalan. Dalam proses itu, saya menemukan bahwa pada satu bagian dimana perasaan-perasaan dalam diri "semacam tumbuh" kelegahan. Disaat yang sama, saya merasa fisik saya dingin dan ringan. Saya tetap terus bertahan dalam proses meditasi itu.

Hanya rasa yang muncul didalam diri. Rasa dingin berubah menjadi hangat. Tadi yang berkeringat, tidak berkeringat lagi. Raga yang terasa kuat dan bersemangat kembali. Seakan, jiwa telah dicash dan menemukan rasa kekuatan baru. Muncul dalam benak saya harapan dan kegembiraan, suka dan duka. Seakan terpulihkan kembali. Saya sadar tepat pukul 20.00 wib. Rasanya terpulihkan. Benar-benar terasa segar dan kuat. Rasa bahagia dan bangga. 

Dari pengalaman saya tadi, saya menangkap bahwa "Toxic Positivity", adalah sikap mengeneralisir suatu keadaan kepada suatu keadaan tertentu selama waktu tertentu dan terpendam dalam diri setiap orang. Rasa yang muncul kemudian sebagai resonansi terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Toxic positivity, sadar atau tidak, seseorang mengalami ini. Baik itu dalam kadar yang kecil maupun dalam kadar yang besar. Toxic positivity perlu diolah dengan baik. Tanpa itu, berdampak buruk akan pskologis seseorang. 

Dunia sekitar dengan jamak situasi harus perlu diterima dan diolah, diatur dan diproses secara akal budi dan perasaan yang sehat. Berproses dengan akal budi artinya diterima dan direkam dengan pola kirim yang logis. Berproses dengan akal sehat berarti dengan pola pikir yang logis tadi sampai harus membangkit suatu perasaan yang benar. Iya... kalau sedih harus sedih dan ini harus diterima. Jika gembira, iya..harus gembira dan ini pun harus diterima. 

Dari pengalaman dan pemahaman yang terbatas tentang sikap mengeneralisir, yang sekarang Kompasiana menyebut sebagai Toxic Positivity, saya memiliki cara tadi, "perlu ada  waktu untuk diri sendiri". Waktu untuk diri sendiri inilah bisa diisi dengan berbagai tindakan reflektif. Hal ini dimaksudkan untuk membangkit kembali segala tindakan dan perasaan secara pribadi. Waktu untuk diri sendiri, saya lebih memilih untuk melakukan meditasi. Meditasi, cara untuk mengobati sikap generalisasi diri. 

Pangkalpinang, 28 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun