Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Sebuah Refleksi di Hari Guru

2 Mei 2020   10:27 Diperbarui: 2 Mei 2020   10:43 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi, melatih anakku

Sebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah pepatah tak perlu diragukan lagi. Walaupun ada yang pesimis tentang profesi satu ini. 

Pesimis karena gajinya kecil. Pesimis karena guru sering berulah sehingga anak didik jadi sasaran kekerasaan. Pesimis karena guru terlalu banyak beri PR kepada anak muridnya. Dan mungkin masih banyak sikap pesimitis lainnya. Ini litani kita bersama.

Dari deretan sikap pesimitis ini, apakah kita sadar diri bahwa kita pun pernah belajar dari sang tokoh pahlawan tanpa tanda jasa ini? Kita kenal huruf dan angka dari guru. 

Kita mungkin kenal disiplin dari dedikasi mereka. Kita tahu membaca dan menulis dari guru yang sekarang kita mengambil sikap berseberangan. Kita mampu mengeja huruf dan angka hingga lancar membaca dari mereka yang kini terkadang dipenjarakan akibat sikap kita. 

Mungkin baik juga jika di hari guru (2 Mei), kita kenang mereka, kita doakan mereka, kita persembahkan diri mereka dalam pelukan kasih kita sembari belajar dari mereka sikap rendah hati dan sabar mereka sehingga tetap menguatkan kita dalam berjuang meneruskan panggilan mereka dalam keluarga dan usaha kita.

Harus diakui bahwa dunia pendidikan kita selalu berubah dan berkembang. Hal ini bukan satu-satunya karena pergantian pemimpin. Apalagi bukan karena mentalitas sang pemimpin yang ingin berubah sesuka hatinya. Namun lebih dari itu, karena perkembangan dunia masa kini yang selalu menuntut pemahaman, perasaan, kehendak, dan jiwa dari setiap perkembangan zaman. 

Perkembangan zaman inilah yang selalu mendorong, memotivasi dan lebih dari itu mengajak kita untuk segera berubah, beranjak dari satu tempat ke tempat lain. Tidak boleh terlalu lama di suatu tempat.

Jika tidak berubah pasti akan kalah saing. Jika tetap status quo, bertentangan dengan esensi dasar manusia yaitu homo viator, manusia peziarah, yang menyejarah dalam pencarian makna hidupnya.

Dengan begitu, tuntutan strategi, obyektivitas (sasaran), kegiatan dan tahapannya, tanggungjawab pelaksanaan, waktu dan indikator pun harus disediakan cukup untuk siap bersaing dengan pendidikan-pendidikan luar. 

Tanpa ini semua, pendidikan tetap menjadi proses mati yang melahirkan manusia yang hanya suka meniru, pintar karena menglafal, pandai berorator, tetapi nihil dalam bekerja.

Kita kembali kepada guru. Guru memang sebuah profesi yang masih diminati. Ini harus kita akui. Bagaimana jika tanpa guru di sekolah atau di kelas? Mampukah orangtua menjadi guru di rumah? Seberapa lama orangtua mengajar anaknya membuat PR jika anaknya itu masih TK atau SD kelas 1 atau 2? 

Pengalaman selama masa pandemi (kata Yunani, pan itu artinya semua dan demos itu masyarakat) covid-19, ada banyak orangtua mengeluh tentang sekolah anak dari rumah. Mengeluh karena anak diberi banyak pelajaran, diberi macam-macam tugas ini dan itu. 

Dengan begitu banyak hal seputar sekolah dari rumah tentu orangtua kewalahan mengurus. Apalagi satu rumah beberapa anak dengan kelas berbeda. 

Begitu repotnya orangtua. Pada titik ini, orangtua lalu tidak simpatik pada guru. Pengalaman ini tercatat dalam setiap keluarga. Lebih dari itu, orangtua pun harus mencatat pengalaman guru di sekolah atau di kelas, bagaimana repotnya satu guru mengurus banyak murid di satu kelas, jika satu kelas 30 murid, apalagi selama satu jam lebih atau ketika pelajaran yang tidak diminati anak-anak muridnya.

Pada tahap yang sulit dan enak sekalipun, mestinya orangtua harus mengakui dengan hati dan budi yang bening bahwa profesi guru adalah tetaplah sebuah profesi mulia. 

Mungkin profesi yang mulia bukan karena masih diminati banyak orang, bukan karena gaji atau upahnya, mulia karena kehebatannya dalam strategi, dedikasi yang tulus serta keluasan cara berpikir, hati, dan kehendaknya untuk tetap mengayomi anak didiknya hingga mampu berpikir, mampu merasakan, dan mampu kelak mewujdkan impian hidupnya.

Disatu sisi peran utama orangtua tak boleh kendor. Karena orangtua adalah guru utama, pelatih hebat, dan teladan mulia bagi anak-anaknya. Jika peran ini dijalankan secara optimal, anak-anak tidak akan merepotkan guru. 

Disisi lain, guru menjadi tongkat estafet dari rumah menjadi peneguh, penguat, dan pemotivasi bagi anak untuk mampu bersaing secara internal dan eksternal nanti. Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi perannya tidak boleh diabaikan. 

Perannya pun tidak boleh penggantikan orangtua. Perannya ialah memotivasi, menggerakkan ke arah kebaikan, dan meneguhkan ketika anak berhasil memahami, serta tetap mendorong anak jika anak itu belum mampu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Di hari guru ini, akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada para guruku yang tercinta, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan para dosen saya. Tak lupa pula pada guru utamaku, bapak dan ibu serta kakak-kakak dan adik saya di rumah. 

Mereka semua adalah guru yang hebat, guru yang berjiwa mulia, dan guru yang tak kenal waktu dalam mengajar, meneladani, dan melatih diri saya. Mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah melukai hati dan budimu para guruku. Kalian memang menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. **.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun