Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Sebagai Proses Belajar yang Unik

3 Juli 2021   10:19 Diperbarui: 3 Juli 2021   10:33 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendaftaran Ulang SD Santo Rafael Kaugapu, Mimika Timur (Dok. pribadi)

Pada seluruh rangkaian cerita dan kisah di dunia pendidikan, tak pernah berlangsung mulus. Keseluruhan dinamika dan juga alur untuk menghidupkan wawasan untuk tiap-tiap generasi pun, kadang bertabrakan dengan apa yang tak pernah disangka, di mana sering kita katakan sebagai tantangan.

Muatan kurikulum yang berganti dan padat, terkadang tak sebagian persen sampai selaras dengan harapan, juga lebih jauh lagi oleh kinerja administratif membuat kealpaan pada kepekaan untuk anak didik tak sampai seperti komitmen hati nurani, dan masih banyak lagi tantangan pada bilik pendidikan kita yang secara umum terkesan begitu unik serta penuh pergolakan.

Tak sedikit pula seluruh pencapaian pun memuaskan di satu sisi, bukan oleh karena hal itu disengaja atau tidak, karena memang semua hal ikhwal di dunia ini sudah semestinya punya hak untuk manusia tahu apa perannya dan arti diri bagi dunia. Oleh karena itu keberuntungan tidak selamanya dipihak waktu, tetapi lebih kepada tahu dirinya seorang individu, terkait apa dirinya, siapa dirinya, dan bagaimana dirinya bertumbuh, agar waktu tak selalu memegahkan kemenangannya oleh kemalasan individu itu sendiri, melainkan ia menjadi saksi bahwa manusia punya lintas sejarah yang dapat dituangkan ke dalam dunia dan menjadikannya unik secara berbeda dari ciptaan lainnya.

Menjelang Tahun ajaran baru pun demikian adanya, siswa yang walaupun berlibur, tetapi pengajar tetap senantiasa berkibar dengan evaluasi secara bertahap di tiap bidangnya. Sama seperti waktu yang senantiasa akan mengalir, tetapi tiap detik seorang pengajar akan senantiasa terbayang dalam benaknya, bahwa tahun ajaran baru sudah semestinya tak lagi ada kesan seperti tahun yang lama. Bersiap dengan mengarungi pembelajaran secara baru, dan tak pernah melepas pembelajaran di tahun lama sebagai suatu kedewasaan mungkin akan lebih bijaksana, untuk itulah tulisan ini merupakan citra dan gambaran sepadan, di mana akan mengantar setiap pembaca agar paham sekolah katolik tak pernah berdiam diri dan selalu mengarungi tantangan dengan keharmonisan yang berpegang pada kasih dan identitas dialog bersama keterbatasan, sebagaimana datang melanda tanpa dapat diperkirakan.

Kekhasan itu bersemai di dalam damai

Terus terang awal tulisan ini terinspirasi oleh refleksi dalam Instrumentum Laboris untuk mengenang dua dokumen dari kepausan yakni Gravissimum Educationes dan Ex Corde Eccelsiae, dan untuk edisi bahasa Indonesia Instrumentum Laboris  diterjemahkan dengan judul Mendidik Masa Kini dan Masa depan: Semangat yang Dibarui. Alasan dua dokumen itu diangkat dan menjadi refleksi tentu tak terlepas dari suatu citra yang hendak dibarui, yakni oleh karena pergolakan dunia, serta tantangan di tiap zamannya, Gereja merasa perlu memberi pesan dan aura yang membuat pendidikan katolik dapat berkualitas secara semestinya. Maka untuk itu seperti apa sekolah katolik? Lihatlah foto diatas, tepat sebagaimana merupakan latar tulisan ini dibuat. Foto tersebut adalah rupa dan gambaran seorang guru mendata siswa barunya, mengunjungi rumah dan berdialog dengan calon siswa barunya.

Tentu gambaran itu tak bersuara namun mewakili satu citra sebagaimana merupakan ingatan penulis terkait pesan damai Paus Fransiskus, yakni "Kita harus ingat bahwa kita bersaudara, sehingga ajarlah orang lain dan ajarlah diri kita sendiri untuk tidak menganggap tetangga kita sebagai musuh atau sebagai lawan yang harus disingkirkan."[1]

Hal ini tentu tak semata bukan hanya pada konteks seruan, tetapi bahwa agenda itu atau ujaran tersebut dapat diwujudnyatakan di sekolah, melalui terbukanya relasi agar terjun untuk menyapa dan senantiasa hadir memberi kepastian bahwa pendidikan katolik adalah ruang yang harmonis dengan menyediakan tiap-tiap keunikan caranya agar setiap siswa mendapat kesamaan hak yakni wawasan dan juga sarana untuk diantar menuju keterbukaan pikiran, supaya membangun generasi dari hal-hal mendasar dalam rupa dialog. 

Secara serta merta hal ini tentu menjadi peranan penting bahwa upaya untuk mendidik itu tidaklah mudah, perlu daya juang dari diri sendiri agar peduli, mendidik secara semestinya dan berakar menuju kesadaran bahwa sekolah itu ruang dialog di mana bahasanya adalah harmoni, dan citranya ialah kekeluargaan memang merupakan cita-cita. Walau demikian, tetap ada yang melampaui semua itu, yakni saat kepekaan dapat menyadari, bahwa sekolah adalah ladang di mana kenuikan martabat manusia dapat dijumpai dan bersemai secara alami dari wajah di tiap siswanya.[2] Maka untuk itulah konsep damai tak bisa hanya ada di sekolah, damai adalah mencakup semua yakni saat murid didekati ke rumah dan membuat murid tahu bahwa sekolah itu mengakrabkan dirinya yang unik agar berjumpa dengan banyak keunikan sebagaimana akan ditemui di dalam tiap pembelajaran di ruang kelas.

Pluralisme dan kekayaannya

Jika keunikan merupakan sebuah ruang di mana interaksi dan relasi amat perlu didalamnya untuk suatu misi keharmonisan di dalam sebuah sekolah, tentu tak lain tak bukan bahwa sejatinya di dalam sekolah termuat pula dinamika yang begitu plural, sebagaimana itu adalah kekayaan yang memang semestinya sangat menunjang untuk pendidikan itu sendiri. Adapun hal tersebut sempat termuat dalam Instrumentum Laboris, bahwa sekolah-sekolah dan universitas-univesitas katolik memenuhi tugas mereka, yakni misi dan pelayanan, dalam konteks budaya dan sosial yang sangat berbeda. Karya mereka kadang-kadang diakui dan dihargai dan, pada saat lain, dihadang oleh kesulitan ekonomi yang serius serta permusuhan, yang kadang-kadang bahkan dapat berubah menjadi bentuk-bentuk kekerasan. Cara kehadiran mereka di berbagai negara dan wilayah dunia dialami sangat bervariasi, tetapi alasan mendasar bagi karya pendidikan mereka tidak berubah.[3] Untuk itulah memang sekolah itu memang merupakan ladang yang begitu plural dengan dinamika, dan tentu tak pernah dapat ditolak bahwasannya hal tersebut menjadi kekayaan itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun