Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah yang Terkatakan dengan Keajaiban Tuhan dan Kebaikan Manusia?

28 April 2021   14:22 Diperbarui: 28 April 2021   14:29 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keadaan inertia manusia tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Atau dalam diamnya kita tak bs katakan manusia itu baik dan buruk. Tetapi ketika manusia diam di tengah persoalan yg menjadi wewenangnya, diam adalah sebuah kesalahan. Soalnya kewenangan itu ditentukan oleh apa? Kadang hal ini ditentukan oleh peranan formalnya. Tetapi yg lebih mendasar adalah tanggungjawab kemanusiaan. Pada apa yg salah dan jahat manusia tak boleh diam.

Estetis manusia

Sejatinya manusia adalah khas, unik, dan tentu sangat estetis dalam menentukan dirinya di hadapan dunia. Manusia yang terhitung sebagai individu dengan kekhasannya tersebut tentu sangat potensial dalam memaknai dirinya, ia dapat mementingkan dirinya sendiri terlepas dari kepentingan orang lain, dan tentu melalui seluruh keotentikkanya baik itu secara rasional dan akal budi (terlepas dari adanya hal transendental di luar manusia itu sendiri), manusia dapat mengupayakan apapun untuk kepentingan dirinya agar dapat menjamin kedamaian jiwa sebagaimana menurut idealisme yang dibangun olehnya sendiri. Itulah yang secara ringkas dapat dimengerti sebagai upaya eksistensial individualisme, di mana secara potensial dibangun oleh manusia itu sendiri.

Tentu bila membaca dari perspekstif komunalisme hal ini sangatlah rancu, sebab kebaikan bersama diselewengkan dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi, sebagaimana hal ini sangat bertentangan dengan kaidah hubungan seseorang dengan masyarakat di sekelilingnya. Walau demikian upaya penjabaran komunal ini memang perlu dikoreksi terkait bagaimana lingkup privat itu menjadi suatu kekhasan manusia dan sangat penting untuk mendapat tempat dalam kepribadian suatu individu itu sendiri. Lagi pula pada dinamika modern seperti ini panggilan untuk terlibat secara individualis tak dapat terhindarkan, akibat adanya persaingan serta perbedaan tatanan sosial di antara kita akan tercipta sebuah peranan yang memunculkan suatu sikap individualis yang tentu kiblatnya ke arah kesejahteraan individu itu sendiri. Ibaratnya seleksi alam, manusia akan sebagaimana rupa tanpa melupakan kaidah moral individualnya akan bereksistensi sekuat keutuhannya untuk memungkinan diri agar menanjak naik menuju kesejahteraan itu sendiri. Sehingga daripada menunggu orang lain untuk bergerrak melakukan sesuatu yang terbaik demi membalikkan keadaan, ada baiknya mulai dari diri sendirilah yang terdorong untuk beraksi merengkuh serta membalikkan keadaan.

Tetapi bilamana manusia bertolak dari individunya tanpa memalingkan wajah kepada moral agama apakah dapat terjadi kesinambungan yang baik pada tatanan perilaku hidup manusia? Secara alami manusia dapat berpotensial berlaku baik tanpa berkiblat pada agama, melalui pergerakan rasional, tatanan penalaran empiris, serta juga kiblat agenda kemanusiaannya manusia dapat menyokong moralnya secara tertata. Walau demikian tentu hal ini memberi suatu agenda berbeda, bagaimana kedamaian jiwa manusia di hadapan dinamika kekacauan dunia yang bisa saja terjadi tanpa bisa diprediksi? Ke arah manakah roh manusia, jika dihadapkan pada regu tembak yang siap menghabisi nyawanya pada suatu tragedi dendam antar sesama manusia?

Tentu dalam keadaan demikian manusia mengalami ketakutan, kecemasan, dan pada momen demikian bagi orang beragama tentu tidaklah demikian, justru terdapat iman yang bagi mereka merupakan suatu penopang jiwa agar sampai pada kehidupan kekal. Melalui tolak ukur iman inilah manusia dengan kesinambungannya tanpa Tuhan akan mengalami suatu paradox di dalam keutuhannya untuk menjiwai dirinya secara pribadi. Juga tak terluput pula tanpa adanya Tuhan manusia bagaimanapun tak lebih kuat ketabahannya daripada orang beriman itu sendiri, dalam menjawabi persoalan dunia.

Fondasi tatanan empiris dalam sains sebagai tumpuan individu tanpa Tuhan, akan kalah dengan suatu hikmat bahwa hidup ini adalah penyelenggaraan Tuhan pada diri orang beriman. Pelampauan yang dihadapi orang tanpa Tuhan sedikit banyak hanya bersifat apa yang dapat ia persepsikan sebagaimana hidup ini ia bangun, tetapi kaum beriman akan melampauinya dengan berkiblat pada apa persembahan diri ini guna meneguhkan iman agar bertumbuh secara dewasa.

Berkiblat dari dua tolak ukur baik individualisme dan komunal, tanpa Tuhan dan bersama Tuhan, dalam dunia dewasa ini sesungguhnya memanggilku pada asas tentang apa dan kemana arah citra sejati itu di tengah dunia ini? Poros dinamika dunia tentu sulit untuk ditebak, dan semua tak bisa berlandaskan pada setiap persepsi, dan bahkan iman pun suatu saat bisa saja runtuh ketika keputusasaan terhadap harapan akan hidup ini kian mengental. Aku sebagai individu dari suatu lingkup hidup berbangsa dan bernegara tak bisa terlepas dari interaksi sosial, aku sebagai individu dengan keimanan tak juga terpisah dari keyakinanku bahwa hidup ini perlu untuk menyumbangkan kebaikan yang lahir dari suatu keotentikan diri dan secara sukarela patut diberikan kepada siapapun termasuk alam semesta ini, dan sebagai makhluk rasional sejatinya diriku pun akan bertumpu pada dinamika yang di mana daripadanya aku dapat menalarkan beberapa khazanah ilmiah demi penataan intelektual berpikirku. Lalu jika ketiganya dibangun secara ketat berdasarkan keutuhan dengan masing-masing peran, apakah hal tersebut dapat membawaku ke arah kedamaian?

Kebaikan Ilahi adalah misteri untuk kita

Siapapun di dunia ketika bermenung tentang apa peran Tuhan pada hidup kita, dialog yang terbangun ialah, bahwa Tuhan adalah segala multi kemahaan, di mana daripada-Nya terpancar rona mutual sebagaimana Ia tersingkap pada awal hingga akhir hidup manusia. Tuhan dalam pancaran metafisis ialah yang secara aktual terus menerus bergerak pada dinamika hidup manusia, pada tiap-tiap fenomena Ia mengajarkan cara untuk mengasihi hidup, dalam kemalangan manusia Ia hadir dengan segala kerapuhan kita, guna meyakinkan kuasa-Nya yang kekal baik terhadap manusia sebagai ciptaan dan juga semesta sebagai karya tangan-Nya, serta pada sukacita Ia mengajak manusia untuk mensyukuri hikmat-Nya melalui introspeksi dalam tiap-tiap doa kita.

Ketika menjabarkan hal ini apakah peran Tuhan telah tertuntaskan dengan jawaban demikian? Tentu tidak, terdapat satu praksis atau kealpaan manusia ketika merumuskan hikmat Tuhan atas dirinya, yakni peran keajaiban dan misteri, yang datang kapan saja tanpa suatu algoritma seperti pencapaian ad sense di Youtube. Fenomena sebagaimana tersalur dan dihayati pada dinamika manusia, seiring berjalannya waktu tak lagi berpadanan pada bahasa dari keajaiban dan misteri. Apa yang diselenggarakan Tuhan terhadap hidup manusia, dinyatakan sebagai sebuah rupa dan takdir bahwa memang demikian adanya, sebab jika kita mengganggu penyelenggaraan Ilahi, kontribusi peran Tuhan terhadap dunia ini, akan tak begitu sesuai dengan ingin-Nya. Baik terhadap fenomena maupun dinamika, perlu diketahui keajaiban dan misteri datang dari suatu kontribusi tiap-tiap individu yang diberikan oleh Tuhan kehendak dan akal budi untuk membina kebaikan universal, walau hal tersebut datang dari individual diri sendiri.

Secara sepadan perlu diketahui, baik bergerak bersama Tuhan dan tanpa Tuhan, manusia tetap akan berpadanan pada suatu keumuman yang tak dapat ditolak, yakni prinsip etetis itu sendiri. Panggilan kehendak untuk menjadi agen perubahan bagi dunia sebagaimana lahir dari individualitas, tak terluput pula kedewasaan iman dengan merengkuh tiap-tiap fenomena sebagai penguatan karakter beragama yang sehat, semua hal tersebut tak bisa terluput bahwa terdapat ajakan dari interior diri ini, agar menjadi berarti pada masing-masing peranan di dunia dewasa ini. Dari mana hal tersebut datang, tentu hal itu hanya misteri bagi kita. Dia yang tanpa Tuhan bisa berbahasa dan berbudi luhur melalui norma kemanusiaan melebihi orang beriman, juga yang beriman dengan kekayaan spiritualnya mampu memberi diri secara sukarela dihadapan sesama sebagai pengaplikasian imannya, adalah jembatan keajaiban sebagaimana datang dari jiwa estetis atas pemaknaan diri itu sendiri. Mungkinkah kita terlahir dari jiwa yang sama? Ataukah kita terlahir dari rupa pencipta yang sama pula?

Panggilan menuju beradab

Terlepas dari perdebatan entah melalui jiwa yang sama atau pencipta yang sama, atau apa asas kepentingannya baik itu secara individual atau menyenangkan Tuhan, namun satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa manusia tahu dan punya implementasi kebaikan sebagaimana layak untuk dihayati. Di kala kita menganggap bantuan orang lain adalah sebuah hal yang fana, setiap manusia akan terperangkap bahwa keajaiban tak pernah bisa datang dari orang lain.

Hidup itu lebih dari soal ilmiah. Kenapa saya ada? Tahu semua bernasib naas kematian, mengapa masih dengan gembira menjalani hidup? Hidupku yang hanya sepersekian miliar dari gerak tahun cahaya, apakah masih punya arti? Atau berartikah saya di balik kemahaan multi alam semesta ini? Ataukah saya hanyalah bayangan terbangan pasir di horison kemahaan alam ini?

Aku yang memilih percaya pada iman, walau merupakan dasar kebermaknaan hidup ini di tengah kemahatakmengertian, tetap mengajarkanku untuk menghargai tiap-tiap pemberian dari tangan manusia yang secara ajaib terpanggil secara utuh melahirkan kebaikannya secara otentik. Sebab padanya kurangkumkan kesemestaan harianku yang kompleks namun tak berarti di tengah kesemestaan yang mahaluas ini dalam syukur dan permohonan. Padanya dan melalui manusia-manusia ajaib yang dengan simpatinya, kuberharap bahwa aku sang titik pasir ini, masih boleh memiliki arti.Untuk itulah Imanku adalah menjumpaiNya yang mencengangkanku di sejarah hidupku di alam maha luas ini. Imanku bukan janji setia, kartu identitas dan seragam. Imanku adalah doaku. Doaku adalah iman yang hidup dan dinamis serta keterbukaan untuk menghargai pemberian diri dari orang-orang sekitarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun