Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akal dan Peran Introspeksi

1 Februari 2021   19:33 Diperbarui: 1 Februari 2021   19:43 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap orang tentu tak bisa atau tak dapat terlepas dari aktivitas berpikir dalam hidupnya, baik itu melakukan pekerjaan, membaca suatu artikel, bahkan melamun pun otak akan bekerja dengan menyajikan suatu kontak terhadap objek, dan tentu itu tak terlepas dari berpikir yang adalah peran akal itu sendiri. 

Manusia amat diuntungkan dengan hal ini, karena ia sangat unik dari ciptaan lainnya akibat adanya akal tersebut, ia digiring pada taraf perkembangannya yang serta merta akan menemukan titik temu pada suatu ilmu serta pengetahuan yang membuka titik balik manusia itu sendiri untuk mengenal serta menciptakan peradaban. 

Secara garis besar pencarian ide tidak serta merta terlahir langsung begitu saja terpancar, tetapi bermula dari keraguan. Bertanya menjadi ujung tombak untuk memecah keraguan tersebut, dan berdiskusi adalah langkah pertanggungjawaban terhadap keraguan itu sendiri, untuk itu manusia tak dapat terlepas dari aktivitas ini, hanya saja oleh karena keterlemparan akibat tuntutan, penting kiranya manusia kembali berbasa-basi dengan hakikatnya dan kembali menelusuri jejak awal mula berpikir itu sendiri dalam kaca mata introspeksi.

Saat alam menjadi tumpuan

Pada mulanya cara berpikir terstrukur begitu dogmatisnya, melalui mitos setiap manusia diarahkan pada tabiat yang baik melalui budaya dan perkembangan peradaban sesuai konteksnya. 

Kiranya hal tersebut tak dapat disangkal, tepat ketika membayangkan masa kecil manusia akan pertama-tama diperkenalkan dengan mana yang baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, serta pertautan dikotomi, di mana kiranya membawa sebuah dampak pada kesantunan serta pola berpikir terstruktur, semua tak terlepas dari kaidah moral berdasarkan tradisi keluarga ataupun konteks peradaban di masa itu. Hingga pada pergumulan tepat di saat akal budi mulai berani untuk mempertanyakan, kita akan bertemu pada keraguan, mengapa masa kecil saat itu begitu taatnya tanpa mempertanyakan kedalaman dari suatu tindakan tersebut? 

Mungkinkah mitos menjadi akibat ketaatan tersebut? Singkatnya hal tersebut tentu lumrah dan biasa, hal ini justru akan membentuk kita dalam menggunakan gaya pemikiran peradaban Miletos yang pertama-tama meragukan mitos sebagai daya dobrak untuk akal budi dan menciptakan suatu claim guna menguji mitos tersebut.

Mula-mula salah satu filsuf Miletos, yaitu Thales di mana ia mengemukakan bahwa akar dari segala sesuatu adalah air. Air bagi Thales menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. 

Menurut Thales, air sebagai sumber kehidupan. Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Hal itu ia buat sebagai kajian untuk mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia.

Tak luput pula Anaximandros turut memberi andil dalam pemikiran peradaban Miletos. Ia adalah murid dari Thales dan menjadi sangat berpengaruh di zamannya ketika ia mengkritik pandangan gurunya mengenai air sebagai prinsip dasar (arche) segala sesuatu. 

Penalaran Thales yang bersifat claim pun berubah menjadi diskusi berdasarkan penalaran oleh Anaximandros dengan menampilkan retorika secara singkat sebagaimana dimengerti bahwa bila air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi zat yang berlawanan dengannya. namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun