Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta dan Masa Jeda

29 Mei 2020   10:14 Diperbarui: 29 Mei 2020   10:14 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah rindangnya pepohonan di kisaran halaman rumahku, mata ini tertuju pada sisi yang begitu terang dari biasanya di mana aku dapat membedakan tiap warna, bentuk, serta keseluruhan benda di sekitarku. Setelah pekatnya malam itu membuatku meyakini bahwa tak ada yang dapat kulihat, justru kini semua begitu jelas dan sangat terpampang melalui indera penglihatanku. 

Untuk itulah aku berterimakasih pada fajar di pagi ini, karena telah memperkenalkanku tentang arti sebuah pengenalan di dalam terang pemahaman, bahwa dari pancaran cahaya membuatku mengenal tentang keseluruhan lingkup di sekitarku menampilkan keunikan yang tidak hanya terbatas pada persepsiku sendiri. Sehingga dari pada itu pula aku pun berpijak dengan pendapat bahwa semua yang terlihat pada persepsi itu hanyalah pikiran semata dan jika terus dijejali akan membuat siapapun di muka bumi ini melihat setiap keragaman dengan kekosongan.

Demikian ketika siapapun membahasakan cinta di dalam hidupnya tak jarang akan menemui kebuntuan, tepat ketika tingginya espektasi tak terjawab pada realitas, hingga membuat apapun bentuk keseimbangan pikiran yang ingin dicapai dalam kenyataan menemui kejenuhannya. Oleh karena itu, tulisanku pada pagi ini ingin mengajak seluruh pikiran dan setiap kesan di tiap masa jedaku dengan membahas tentang cinta pada cermin di mana seharusnya ia dipandang.

Cinta itu transenden adanya

Kita merasa ada bagian dari fragmen di diri kita yang terlengkapi. Kita merasa menemukan makna dari semrawut serpih-serpih hidup kita yang penuh tanda tanya. Kita dikonfrontasikan oleh paradoks: munculnya kebingungan sekaligus jawaban, kepedihan sekaligus kebahagiaan, masa lalu sekaligus masa depan. Itulah cinta pada pemaknaannya yang transenden, secara substansial mengantar setiap jiwa dengan penuh cinta untuk menjadi berani agar tidak bergantung. 

Menjadi mandiri secara terkait. Walau cinta memang mendatangkan emosional, tetapi cinta butuh pengungkapannya secara rasional, hal ini yang sejujurnya terjadi bahwa kita tidak melamun tetapi merumuskan imajinasi, kita berproduksi tapi bukan halusinasi dalam citra paradigma orang lain, disitulah kita mengerti tentang arti standing in love. 

Saat aku mencintai, aku sesungguhnya memaknai suatu proses dengan berdiri pada pijakan cinta, bukan demi mengamankan diriku secara netral tetapi memperkaya diriku sendiri bahwa cinta tidak semata-mata aku jatuh hati pada seseorang, tetapi mengikutsertakan setiap pengalaman dan perjumpaan dari seluruh keadaan alamiah dari sang waktu demi memperkaya pemaknaan diri. Sehingga aku pun akan merasa begitu rendah hanya dengan jatuh hati, tetapi aku merasa begitu terdidik saat cinta itu mendekatkan diriku pada kedewasaan.

Tak begitu kupedulikan bagaimana persepsi yang muncul ketika aku berusaha mencintai kompkesitas diri dan kekagumanku di setiap pengalaman perjumpaanku bersama sang waktu. Jelasnya aku tak mau menghitung seberapa berdosanya manusia lain mempersepsikan dosaku, tetapi biarlah seluruh semesta menjadi saksi bahwa inilah caraku mempersembahkan diri pada yang Ilahi. Dengan tunduk dan bersimpuh di hadapan yang kekal, disitulah aku mengerti bahwa yang kuilhami bukanlah demi hal yang naif tetapi keikutsertaanku bergumul tentang rasa. 

Adakalanya mungkin setiap manusia akan menjauhi jatuh cinta, tetapi hendaklah jangan menjadi pembual, nyatakanlah saja cinta itu dengan kekagumanmu sebab setiap manusia di muka bumi ini patut kagum terhadap kenyataan yang tak pernah dijumpai sebelumnya. Baiklah untuk bercengkrama dengan kekaguman itu, agar seluruh potensi untuk dewasa dapat terpenuhi dengan utuh tanpa dibelokkan dengan kategori. 

Perkayalah diri dengan bermula dari ketidaktahuan, agar jangan sampai cinta itu tertutup dengan pendapat dan diinjak oleh karena dipandang hina tanpa pernah belajar untuk mengaguminya. Waktu jeda menjadi momen untuk setiap manusia kembali pada hakikatnya yakni kerapuhan, sadar bahwa lemah tetapi percaya diri terhadap keutuhan di tiap-tiap gejolak.

Hal ini menjadi penting dan sangat menjadi sebuah pegangan agar siapapun manusia di muka bumi percaya bahwa setiap pengalaman dan perjumpaan itu kompleks bukan tunggal berdasarkan pikiran semata. Teruslah bereksplorasi tentang cinta dan jangan pernah mengatakan tidak mampu karena yang menjadi penghalang setiap tindakan mencintai adalah pikiran dan siapapun yang dapat membaca pikiran akibat penundaan bersiaplah bahwa suatu hari nanti ia akan ada subjek yang mengendalikan kita hingga tersentak membuat siapapun manusia akan terhenti untuk mencoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun