Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sejenak Berdiskusi tentang Moralitas

20 Mei 2020   08:54 Diperbarui: 20 Mei 2020   09:40 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa kejayaan agama Kristen di Abad Pertengahan, terlebih khusus teori perintah Allah di mana cukup lazim dianut mengemukakan dengan jelas bahwa tindakan manusia haruslah mengikuti apa yang menjadi kehendak atau diperintahkan oleh Allah. Itulah standar kebaikan yang menjadi acuan hidup manusia. 

Dalam kerangka pemikiran ini, mudah juga dipahami bahwa orang akan menerima ajaran yang mengatakan bahwa kesadaran moral atau suara hati dapat disamakan dengan suara Allah yang berbisik dalam hati manusia.[5] 

 Dengan demikian, secara teoritis paham perintah Allah mengakui objektifitas moral. Objektifitas moral yang dimaksud adalah wahyu yang diberikan oleh Allah sendiri dalam wujud Kitab Suci yang sudah dibakukan. 

Maka norma moral pun harus merujuk pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci maupun perluasan aplikasinya, yakni tradisi yang diajarkan dan sudah dijalankan oleh leluhur mereka. Sehingga perintah Allah pun sering diyakini sudah tersimpan dalam hati manusia sehingga akalnya seseorang telah mengetahui mana yang baik di mana sesuai dengan perintah Allah itu sendiri.

 Akan tetapi telaah sejarah dan dewasa ini memperlihatkan unsur alasan yang belum memuaskan. Pasalnya dari kitab suci yang sama pun para pemuka agama dapat memberi tafsiran yang berbeda sedemikian sehingga menyulitkan paham dasar mengenai rujukan yang satu dan benar. Skisma atau perpecahan agama Kristen yang terjadi di Eropa beberapa abad silam memperlihatkan kenyataan itu. 

Di dalam persepektif moral yang lebih luas pula kesulitan ini nampak ketika kita mengakui ada begitu banyak agama-agama yang berbeda dengan masing-masing Kitab Suci yang berbeda pula, di mana masing-masing pula mengaku ajarannya sebagai yang benar. 

Tentu saja teori perintah Allah dapat dibahasakan menjadi perintah Dharma ataupun otoritas transenden lainnya sesuai dengan keyakinan agama yang berbeda-beda, namun persoalannya tetap bagaimana memahami objektivitas kebenaran moral sebagai yang satu dan sama dari ajaran-ajaran yang berbeda itu, sehingga dapat diterapkan oleh semua orang? 

Oleh karena claim akan kebenaran moral dari masing-masing agama memberi kesan bahwa untuk menjadi manusia bermoral, orang harus terlebih dahulu memeluk agama. 

Hal semacam inilah yang dipertanyakan oleh Socrates dalam (Euthyphro 9d) 'Apakah yang disukai Tuhan karena saleh, ataukah menjadi saleh karena disukai Tuhan?' 

 Kecenderungan moral di mata manusia

 Pada zaman modern, tendensi filsafat pun beralih ke antopofisme. Persoalan moral pun bergeser karena otoritas moral kini diarahkan kepada manusia yang berkepentingan. Salah satu tokoh besarnya ialah Immanuel Kant (1724-1804). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun