Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa di dalam Sastra dan Kesadaran

5 April 2020   21:24 Diperbarui: 5 April 2020   22:59 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah sebuah momen pemberian tanda kepada objek diluarnya. Khas dari manusia, sebuah pengejewantahan murni dari akal budi. Momen kebahasaan, penanda-tanda, untuk memberi tahu sebuah dunia di seberang teks. Makna adalah hal yang di seberang teks yang tak tampak oleh indrawi manusia. Ia ada dan benar-benar hadir pada konseptual manusia.

Ambil saja contoh, Anda sedang ingin menikmati sunyi di sebuah warung kopi, lalu Anda memesan secangkir kopi susu, "Mas, saya pesan kopi susu yang cangkir." Lalu, Anda disuguhkan sebuah gelas, air yang berbentuk coklat. Lantas di manakah "kopi" dan "susu" yang Anda pesan tadi? 

Seharusnya jika merujuk pada perkataan Anda, setidaknya Ada kopi (buahnya) dan sebuah susu sapi, tetapi Anda telah disediakan cangkir dengan seduhan air kopi dan susu. Bukankah ini momen pemaknaan "maksud" dari subjek berkesadaran? Ya, kita hidup dalam interpretasi dan jejaring-jejaring tanda yang tak terbatas.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan manusia? Bahasa adalah rumah Ada, begitulah kira-kira Heidegger mengatakannya. Apa maksudnya? Satu-satunya yang memiliki kesadaran akan dunianya, akan ekistensinya, bahkan dalam metafisika hanya manusia yang dapat mimikirkannya. Dan, seperti yang telah kita ketahui, bahwa hal terdasar dari akal manusia adalah bahasa. Pemahaman mengenai realitas akan terjewantah dengan bahasa.

Dalam sains modern alam semesta sangatlah luas, adakah kesadaran atau akal yang sama seperti manusia? Makhluk yang lain yang hampir sama dalam memikirkan alam semesta dan keberadaan tubuhnya, entah di planet sebelah mana.

Jika tidak ada, maka alam semesta yang akbar dan terlampau luas ini, menjadi sebuah tempat yang sia-sia, begitu ucap Carl Sagan. Apakah kita sendirian di alam semesta? Adakah dia yang lainn di luar sana yang hampir sama dengan manusia? Setidaknya, sekarang manusia belum menemukan bukti konkret dan jelas atas keberadaan yang lain tersebut.

Sendiri? Sepi? Manusia, adalah penjelmaan kesunyian. Sebuah hal terdasar dalam dirinya. Selalu mencari sesuatu di luar dirinya, dan merindukan sebuah titik keabadian, ajeg, dan tak dapat digoyahkan untuk mengatasi sebuah kesepian.

Tetapi, rimba alam semesta berkata lain, semuanya yang seakan-akan diam dan statis, ternyata terus bergerak. Semuanya mengalir, pentha rei, begitulah Heraklitos menyebutnya. Anda sebagai manusia, tidak pernah mandi di sungai yang sama.

Bagaimana sepi membuat manusia dapat berfikir dan membahasakan dunia? Sadarkah, bahwa seluruh pencetak sejarah peradaban manusia dari masa ke masa tidak lepas dari intimnya kesunyian. Sebuah refleksi mendalam, singkatnya, sebuah proses kebahasaan, yang bahasa pun tak dapat menjelaskannya. Heidegger memperjelas hal ini, bahasa tak mumpuni, tapi diperlukan.

Heidegger dalam Sein un Zeit, sampai-sampai membuat Sein coret (adaan yang bukan Ada) untuk menjelaskan sebuah realitas yang bahasa pun tak dapat menyampaikannya. Manusia, dalam keterbatasannya, merindukan sebuah hal di seberang sana, tak tersentuh oleh analitis logis manusia. Metafisika sebuah keajegan yang dogmatis, inilah penyakit terbesar akal manusia.

Bagaimana mungkin manusia sangat takut akan kesendirian dan kesunyian? Padahal darinya, kedalaman akan mewujudkan dirinya. Sampai bahasa pun akan menuju kepada metafora (menjelaskan makna A melalui B). Tetapi, jelas tak ada yang dapat menganalogikan makna, tidak ada sama-dengan (=) dalam makna.

Semua makna mempunyai kedalaman yang tak dapat disampaikan dengan analogi. Jelas, mempermudah adalah hal terdasar dari analogi. Maksud murni A tidak akan dapat dijelaskan dalam B. Hal ini terjadi, karena diferensial tanda dalam bahasa, yang majemuk, goyah, dan tidak stabil.

Dalam kehidupan manusia, tanda tak terbatas, setiap kebudayaan manusia dalam suatu wilayah mempunyai tanda yang berbeda dengan tanda di wilayah lain. Dengan demikian, penafsiran terhadap sesuatu akan majemuk, bahkan mencapai titik yang tak terbatas. Tidak ada medan pemaknaan tunggal dalam sebuah teks. Begitu pula dalam mengkhayati kehidupan manusia ada-dalam-dunia.

Setiap subjek mempunyai pengalaman makna yang berbeda-beda atas kegelisahan eksistensialnya. Bermula dari pertanyaan mengapa kita ada, manusia bergerak menuju sebuah ruang-ruang pencarian tanpa henti, akal budi bertanya dan berakhir dengan pertanyaan.

Ketika pertanyaan tidak ada lagi, kesadaran pun tidak memungkinkan untuk hadir, semuanya telah tiada dan berakhir. Meski berbau antroposentris yang sangat kuat, di sini tak dapat disangkal ada sebuah objek-objek yang diserap dan dicerna oleh manusia. Di sini, manusia berpijak pada dua tebing epistemologis secara bersamaan, yakni rasionalisme dan empirisme.

Lantas, dengan berbagai kemungkinannya, kita mengetahui bahwa pra-kesadaran terdapat objek-objek material sebelum ternamai oleh akal, Post-kesadaran akan tetap ada objek-objek material yang telah ternamai dan tidak ada yang membahasakannya kembali, singkatnya, berhentinya proses pencarian dan kebahasaan. Manusia, seperangkat penamaan terhadap yang belum ternamai.

Manusia ditakdirkan sunyi saat ini, atau ia dapat membahasakan maknanya kepada yang lain dengan simbol-simbol matematis di masa depan sana, ketika ia telah berjumpa dengan makhluk yang nyaris sama dengannya (alien). Singkatnya, yang lain mempunyai sebuah kesadaran akan eksistensinya, adanya proses bahasa, simbol, dan tanda.

Pertanyaan akan hadir dengan membabi buta, misterius, dan sering kali merasuk pada kegelisahan yang amat mendalam. Pernahkah Anda sebagai manusia bertanya, untuk apa kita Ada dengan kesadaran yang sangat melelahkan ini? Mengapa evolusi kita sebagaimana a la Darwin memilih manusia untuk berkesadaran? Mengapa atom-atom berevolusi menghasilkan sebuah kesadaran? Mengapa? Dan untuk apa kesadaran kita? Hanya melakukan aktivitas makan, minum, seksualitas, tidur, dsb, singkatnya proses fisiologis. Untuk itukah kesadaran?

Dengan demikian, tidak ada bedanya struktur manusia dengan hewan. Yang hanya mengandalkan insting untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Ya, kesadaran akan mengejewantah dalam bahasa, dan akan bergerak pada proses pemaknaan. Sehingga, keberadaan manusia tidak hanya seonggok materi-materi yang terombang-ambing.

Objektifitas murni tidak ada dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Subjektif murni pun tidak ada. Yang ada adalah sebuah pijakan pada dua tebing yang saling melengkapi, yakni subjek yang mengenali objek dan objek yang dikenali oleh subjek. Aku terhadap sesuatu di depanku, yang aku cerna oleh kesadaranku. Antara subjek dan objek ada sebuah jarak, sebuah ruang kediantaraan subjek dan objek.

Di sanalah terjadi sebuah proses kebahasaan, proses pemaknaan, interpretasi atas sebuah objek. Sebuah interpretasi yang tak kunjung henti, dirombak, dibangun, dan dirombak kembali. Selamat datang dalam rimba tanda tanya, sebuah kemungkinan dalam pencarian yang tak terbatas jumlahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun