Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Benar Belanja Rokok "Menyembunyikan" 8,8 Juta Penduduk Miskin Indonesia?

30 Januari 2023   07:24 Diperbarui: 30 Januari 2023   09:43 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Center of Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI), sebuah lembaga nirlaba di bidang kesehatan merilis sebuah pernyataan bahwa "Belanja rokok menyembunyikan 8,8 juta penduduk miskin" pada tangga 9 Januari 2023 silam. 

Pasalnya, dengan melakukan perhitungan ulang pada data Susenas BPS (survei BPS tentang sosial ekonomi) tanpa memasukkan belanja rokok pada unsur pengeluaran per kapita, maka angka kemiskinan di Indonesia akan naik hingga 3,2 persen, sehingga hingga 8,8 juta penduduk miskin akan bertambah dari angka 26,5 juta yang dirilis oleh BPS.

Pada publikasi yang sama, CISDI menilai belanja tembakau sebagai pengeluaran yang mubazir, karena konsumsi rokok tidak berpengaruh terhadap pemenuhian nutrisi, dan konsumsi rokok justru akan meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan produktivitas masyarakat. Apakah benar bahwa 8,8 juta penduduk miskin telah 'disembunyikan' oleh belanja rokok? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan memulai penelusuran dengan berangkat dari pertanyaan lainnya: saat ini, kita sedang membahas kemiskinan yang mana?

Konsep Kemiskinan BPS dan Pendekatannya

Untuk mengukur kemiskinan, BPS melakukan pengukuran dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Dalam pendekatan ini, seseorang dikatakan miskin ketika secara ekonomi ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Oleh karena itu, untuk mengukur ketidakmampuan seseorang, cara mengukur yang paling tepat adalah dengan mengetahui berapa besaran pendapatan seseorang tesebut. Namun, alih-alih mengukur pendapatan, BPS dalam surveinya justru menanyakan daftar pengeluaran seseorang. Sehingga, dengan cara ini, seseorang akan dinyatakan miskin ketika pengeluarannya tidak melebihi batasan tertentu. Batasan ini kemudian dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan.

Kenyataannya, pemilihan pendekatan pengeluaran ini memiliki banyak kekurangan  dibandingkan jika seandainya BPS mengukur dengan pendekatan pendapatan. Hal ini dikarenakan pendekatan pengeluaran tidak memperhitungkan keberadaan aset serta pertambahan riil dari pendapatan rutin seseorang. Jika seseorang memiliki pendapatan yang tinggi, namun nyatanya memiliki konsumsi yang rendah, maka ia akan tercatat miskin. 

Sebaliknya, seseorang yang konsumsinya bergantung pada pemberian orang lain, atau bergantung pada hasil lahan sendiri, akan tetap dinyatakan tidak miskin meski hidupnya tidak stabil secara finansial. 

Kendati demikian pengukuran dengan pendekatan pengeluaran tetap digunakan karena pengukuran dengan pendekatan pendapatan hampir mustahil untuk dilakukan. Sampai saat ini data riil mengenai pendapatan penduduk masih belum tersedia, terutama untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal. 

Di sisi lain, jika dilakukan pendataan survei secara door to door untuk menanyakan pendapatan seseorang sebagaimana SUSENAS dilaksanakan, maka masyarakat cenderung memilih menyembunyikan pendapatan mereka, sehingga nilai yang diberikan akan dibawah nilai sebenarnya, yang menyebabkan estimasi menjadi over estimate. Hal inilah yang menyebabkan pengukuran kemiskinan tetap dilaksanakan dengan mengunakan pendekatan pengeluaran.

Terlepas dari konsekuensi penggunaan pendekatan pengeluaran tersebut, konsep dasar dari kemiskinan tetap sama. Kemiskinan yang berusaha diukur adalah kemiskinan yang berangkat dari frasa 'tidak mampu'. Pendekatan pengeluaran dipilih hanya untuk mencerminkan kemampuan seseorang secara ekonomi. Sehingga, meskipun konsumsi dilakukan secara tidak tepat, namun jumlah pengeluaran tersebut tetap mencerminkan kemampuan ekonominya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun