Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Seorang Gadis dan Segelas Es Dawet

3 November 2020   10:36 Diperbarui: 3 November 2020   17:20 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul tiga lewat beberapa menit seorang gadis dua puluh tahun berjalan gontai menuju indekos dari perpustakaan pusat universitas.

Dia lelah sekali, seharian disibukkan kesana kemari meminjam buku dan mengurus kartu rencana studi untuk kuliah tahun ajaran baru. Sisa 500 meter untuk sampai ke kamar indekosnya, ia menyerah. Lebih baik duduk sebentar, pikirnya, dan halte adalah tempat yang tepat sekaligus paling dekat. Maka kemudian dia singgah sejenak untuk isi ulang tenaganya. Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk dan mengamati sekitarnya. 

Beberapa menit berlalu datang dua orang bapak bermotor, yang satu membonceng yang lain. Yang membonceng sepertinya tukang ojek, pikir Si gadis. Mungkin dia ingin mangkal di halte. Dan yang dibonceng berkaus kuning mirip baju partai itu mungkin teman Si tukang ojek.

Gadis tadi hanya melihat sekilas, tanpa benar-benar ingin memerhatikan apalagi membuka topik pembicaraan. Toh, dia hanya numpang isi tenaga disini. 

Akan tetapi kemudian bapak berbaju kuning tiba-tiba mengukur panjang kursi halte dengan balok aluminium yang dibawanya. Oh! Mungkin dia tukang reparasi halte, pikir Si gadis. Bapak itu semakin ke kiri, semakin dekat ke tempat gadis tadi duduk. Maka dengan tahu diri, gadis itu segera berdiri.

Mungkin dia ingin mengukur keseluruhan kursi. Belum sampai detik ke sepuluh sejak gadis itu berdiri, tiba-tiba bapak tadi bicara, sila duduk lagi, saya cuma bercanda. Hahaha. Lucu sekali. Tapi gadis ini cuma tersenyum menanggapi lalu duduk kembali.

Beberapa menit berlalu, bapak berbaju kuning memesan segelas es dawet kepada mas-mas yang juga sedang mangkal depan halte. Jangan terlalu manis mas, pesannya. Karena saya sudah manis. Duh, narsis juga bapak ini. Gadis tadi lagi-lagi cuma senyum mendengarnya.

Dia tidak bermaksud menguping sebenarnya, tapi mana mungkin dia bisa mengendalikan suara yang masuk ke telinganya, kan? Apalagi kalau cuma beberapa meter dari tempatnya duduk. Namun sepertinya Si bapak menyadari bahwa gadis tadi tersenyum mendengar ucapannya, karena setelahnya dia menawari es dawet kepada gadis itu. Menolak dengan halus, Sang gadis cuma tersenyum sopan. 

Hampir pukul empat sore, gadis tadi bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sepertinya tenaganya sudah cukup untuk membawa tubuhnya kembali ke kamar indekos. Ah, tapi ngiler juga lihat es dawet tadi. Maka kemudian dia meletakkan buku-bukunya sejenak di kursi halte lalu berjalan memesan es dawet untuk dibawa pulang.

Bapak berbaju kuning sudah menghabiskan segelas, turut mendekat untuk membayar. Aduh, ternyata cewek ini mau juga. Tadi ditawari tidak mau, omel Si bapak dengan wajah jenaka. Lagi-lagi gadis tadi cuma tersenyum sopan. Bapak ini kemudian memberi uang sepuluh ribu rupiah kepada mas penjual es dawet. Ambil semua saja mas, bayar yang tadi sekalian sama  pesanan cewek ini. Tadi ditawari ternyata malu-malu. Kaget bukan main, gadis ini blank sesaat. Segera setelah kesadarannya kembali, bapak tadi sudah masuk lorong di belakang halte sambil membawa balok aluminium yang digunakannya mengukur kursi halte pas baru tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun