Mohon tunggu...
alfian jawal
alfian jawal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setapak Berlumpur

29 Oktober 2018   20:23 Diperbarui: 29 Oktober 2018   20:34 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jauh dari hingar bingar, jauh dari keramaian pasar, rame ketika ada para penjudi ayam membawa ayam aduan atau bermain judi dadu, 40 tahun silam tahun silam telah berlalu aku sulit melupakan banyak peristiwa dalam hidupku, duniaku dengan teman- teman bermain dengan lumpur dan kubangan serta mandi sungai sampai kulit berubah hitam itulah aktivitas kecilku. Sekolah hanya ada satu berdiri diseberang desa yang kalau air meninggi atau banjir maka kami semua tidak mungkin dapat sekolah karena jalan menuju sekolah berupa jembatan sederhana (jambat gantung) ikut terendam oleh meluapnya air sungai di desaku. Maka belajar sesungguhnya banyak kudapati dalam lingkunganku sehari- hari, tanpa buku tanpa seragam proses itu kulalui dengan senang hati, karena jam 10 kami sudah pulang kerumah.

Hari ini tidak banyak yang berubah dengan desaku, masih saja tertinggal, kurang mendapatkan perhatian pemerintah kabupaten, jalan berlumpur yang menjadi jalan semua makhluk termasuk saya, sudah berubah menjadi jalan yang lumayan besar, tetapi jalan itu dibangun dengan pekerjaan asal- asalan, tidak membutuhkan waktu lama jalan itu pasti sudah rusak kembali. tidak hanya sarana saja yang mengalami ketertinggalan akan tetapi sumber daya manusia juga mengalami ketertinggalan, hanya segelintir saja yang mampu sekolah pada jenjang yang lebih tinggi, ini semua akibat sedikitnya kemampuan secara ekonomi yang dimiliki oleh penduduk desaku. sehingga keributan, pencurian,perkelahian bahkan pembunuhan sering terjadi di desaku.

Sangat mudah untuk mengetahui penduduk desaku, cirinya adalah lumpur, kalau ada lumpur pada pakaiannya atau sepeda motornya maka dapat dipastikan mereka pasti berasal dari desaku, maklum hanya desaku yang paling terisolir diantara desa- desa lainnya. kondisi ini berlangsung cukup lama, aku sebagai anak desa banyak belajar dengan alam, karena sekolah hanya ada satu dengan guru terbatas, sementara muridnya terdiri dari murid- murid dari dua desa, masuk jam 8 pulang jam 9 adalah rutinitasku, meskipun demikian banyak hal baru menjadi pengalamanku, kesekolah tanpa seragam dan alas kaki adalah kebiasaanku dan teman- temanku yang lain, barangkali karena orang tua kami tidak mampu untuk membelinya, atau karena memang sekolahku masih berlantaikan tanah maka tidak perlu memakai sepatu dan seragam.

Tidak penting bagiku pakai alas kaki maupun tidak, pakai seragam ataupun tidak, yang terpenting adalah aku dapat berkumpul dengan teman seusiaku. Seusai pulang dari sekolah waktu kecilku habis dengan bermain dengan temanku, permainan semua terbuat dari bahan- bahan alami, seperti mobil- mobilan yang dibuat berbahan dalamnya pohon pisang, kerbau- kerbauan dari pelepah kelapa yang di kasih tanduk dari tempurung yang dibentuk menyerupai tanduk kerbau, kereta dorong dengan menggunakan bekas kaleng sarden, dan masih banyak yang lain. keceriaan dan kegembiraan yang kualami membuat masa kecilku berlalu begitu cepat, semua yang kulakukan 42 tahun silam masih menjadi memori dalam hidupku.

Masa kecilku belum pernah bertemu denga jalan sebagaimana jalan kebanyakan di tempat yang lain, kepasar harus lewat jalan setapak dan berlumpur, ke sekolah juga begitu, apalagi ke kebun dan ke ladang. meskipun demikian pengalaman meniti jalan yang sulit karena licin dan lumpur membuatku secara fisik terlatih untuk berjalan di semua medan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun