Mohon tunggu...
Alfian Helmi
Alfian Helmi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang nyantren di Hokkaido University, Jepang. Cinta Indonesia :-)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Infrastruktur Pertanian Kita

10 Mei 2019   12:52 Diperbarui: 10 Mei 2019   12:55 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Infrastruktur merupakan salah satu syarat kunci pembangunan ekonomi nasional. Ia berfungsi sebagai katalisator dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi suatu barang dan jasa di suatu negara. Dalam bidang pertanian, ketersediaan infrastruktur yang memadai, secara langsung maupun tidak langsung, akan sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya ongkos produksi dan distribusi komoditas pertanian. Infrastruktur yang memadai dapat memperlancar aliran barang dan jasa pertanian. Sebaliknya, kondisi infrastruktur pertanian yang buruk, dapat menyebabkan membengkaknya biaya produksi dan distribusi, sehingga menyebabkan produk-produk pertanian kita sulit bersaing di pasar global.

Tiga catatatan

Setidaknya, dalam empat tahun terakhir pemerintah sudah memiliki beberapa capaian dalam pembangunan infrastruktur pertanian. Hal ini tidak lepas dari kebijakan refocusing alokasi anggaran di Kementerian Pertanian (Kementan). Pada tahun 2014, alokasi anggaran sarana dan prasarana pertanian di Kementan hanya 35 persen. Namun, porsinya meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Puncaknya, pada tahun 2018 anggaran untuk sarana dan prasarana pertanian ini meningkat tajam menjadi 85 persen dari keseluruhan anggaran di Kementan.

Berdasarkan laporan 4 tahun capian Jokowi-JK, selama periode 2015-2017, pemerintah telah berhasil membangun 5.121 unit embung di seluruh Indonesia. Dari total nilai tersebut, sebanyak 2.348 unit dikerjakan oleh Kementan, 1.927 unit oleh Kemdes PDTT, dan sisanya 846 unit dikerjakan oleh Kementerian PUPR. Masih berdasarkan laporan yang sama, selama periode 2015-2018, pemerintah juga telah berhasil membangun 860.015 ha jaringan irigasi baru, dan 2.319.693 hektar rehabilitasi jaringan irigasi lama. Selain itu, sebanyak 17 unit bendungan juga sudah selesai dibangun dan siap digunakan.

Capaian ini tentu saja patut kita apresiasi, karena selain menandakan keseriusan pemerintah dalam membenahi minimnya infrastruktur pertanian (yang selama ini terabaikan), hal ini boleh juga kita artikan sebagai upaya pemerintah untuk menjadikan pertanian Indonesia maju.

Namun demikian, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan bersama. Pertama, untuk menjadikan pertanian Indonesia yang maju, apakah cukup hanya membangun 'infrastruktur fisik' saja, seperti bendungan, embung, dan jaringan irigasi? Padahal kalau kita tarik lebih jauh, selain yang berbentuk fisik, infrastruktur pertanian memiliki beragam dimensi lain seperti infrastruktur benih, dan infrastruktur kelembagaan. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kedua infrastruktur lainnya tersebut dibangun oleh pemerintah? Sudah sejauh mana pemerintah memperkuat kelembagaan pertanian dan infrastruktur benih/bibit secara nasional?.

Infrastruktur perbenihan, misalnya, selama ini sangat sulit berkembang karena memang memerlukan investasi yang cukup besar. Tidak banyak pihak yang mau menanamkan investasi di pengusahaan perbenihan / perbibitan. Perlu ada upaya yang serius untuk membangkitkan kelembagaan perbenihan nasional mulai dari pusat sampai daerah, termasuk peningkatan kapasitas kemampuan penangkar benih lokal.

Kedua, dari gegap gempitanya pembangunan infrastruktur fisik pertanian diatas, sejauh mana keterlibatan dan partisipasi masyarakat pertanian dalam pembangunan infrastruktur pertanian tersebut. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, sebagaimana yang telah dialami oleh negara-negara lain, akan membantu menciptakan rasa memiliki masyarakat terhadap setiap infrastruktur yang ada. Stiglitz (2002) mengungkapkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai a sine  qua  non untuk menciptakan masyarakat dengan modal sosial tinggi.

Partisipasi masyarakat selama ini juga terbukti menjadi salah satu kunci keberlanjutan (sustainability) program-program pembangunan. Jangan sampai, berbagai macam infrastruktur pertanian yang sudah dibangun, terbengkalai begitu saja karena masyarakat merasa tidak memiliki infrastruktur tersebut oleh karena mereka tidak dilibatkan dari awal perencanaan proyek.

Catatan ketiga, sejauh mana infrastruktur-infrastruktur pertanian yang sudah dibangun ini terkoneksi dengan infrastruktur lainnya. Sebagai contoh, apakah pelabuhan-pelabuhan yang dibangun sudah dilengkapi dengan dengan pergudangan berpendingin udara (untuk menjamin kesegaran komoditas pertanian)? Atau apakah embung atau bendungan-bendungan yang dibangun, telah dilengkapi juga dengan laboratorium dan kebun percobaan bagi penelitian atau klinik konsultasi kesehatan tanaman dan hewan, atau di dekatnya adakah balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar-pasar yang spesifik komoditas?. Jika infrastruktur pertanian yang dibangun bisa terkoneksi satu sama lain, tentu saja sangat menguntungkan bagi para petani kita.

Dua Tantangan 

Selain ketiga catatan diatas, ada beberapa tantangan kedepan yang perlu disikapi dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur pertanian ini. Pertama, potensi bencana alam yang tinggi di daerah-daerah pertanian. Sudah mafhum kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negeri yang potensi kebencanaannya sangat tinggi. Berdasarkan catatan BNPB, sepanjang tahun 2018, ada sedikitnya 4.816 kejadian bencana alam di Indonesia. Dari angka tersebut, bencana alam telah merusak setidaknya 60.466 hektar sawah dan 62 unit jaringan irigasi.

Di tingkat global, The United Nations International Strategy for Disaster Reduction Global Assessment Report 2013 mencatat bahwa selama rentang waktu 2003-2013, sebanyak 58 juta hektar tanaman rusak dan 11 juta ternak hilang akibat bencana alam, setara dengan 11 milyar dollar amerika. Karena dampaknya yang begitu besar, FAO (2015) dalam laporan yang berjudul "The impact of natural hazards and disasters on agriculture and food security and nutrition: A call for action to build resilient livelihoods" menganjurkan agar para pemangku kepentingan bidang pertanian melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dan pembangunan ketahanan (mainstreaming of disaster risk reduction and resilience building).

Kedua, konversi lahan pertanian yang tak terkendali. Menurut data Kementerian Pertanian RI (2015), laju konversi lahan sawah di Indonesia mencapai 100 ribu hektar per tahun. Sedangkan kemampuan pemerintah dalam pencetakan sawah baru masih terbatas dalam beberapa tahun terakhir ini dengan kemampuan 40 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, jumlah lahan yang terkonversi belum dapat diimbangi dengan laju pencetakan sawah baru. Konversi lahan sawah sekitar 80 % terjadi di wilayah sentra produksi pangan nasional yaitu Pulau Jawa. Hal ini, langsung maupun tidak langsung, pasti akan berdampak pada persoalan ketahanan pangan nasional.

Luas lahan pertanian yang terus menyusut akibat konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan non-pertanian ini terjadi secara masif. Kini lahan sawah lebih menguntungkan untuk dijadikan sebagai real estate, pabrik, atau infrastruktur untuk aktivitas industri lainnya daripada ditanami tanaman pangan. Nah, jangan sampai infrastruktur pertanian yang sudah dibangun oleh pemerintah saat ini ternyata dialihfungsikan untuk kegiatan komersial lainnya karena lahan sawahnya juga sudah dikonversi.

Agenda

Dengan tantangan dan beberapa catatan yang telah diuraikan diatas, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menyediakan semua sarana prasarana yang dibutuhkan petani ini agar pertanian Indonesia makin maju. Agenda terpenting saat ini adalah merubah cara berfikir pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, yang selama ini sudah terlanjur berpikir secara linier dan mekanistik, bahwa dengan pembangunan infrastruktur fisik saja pertanian kita bisa maju. Tentu saja tidak semudah itu. Infrastruktur fisik perlu, tapi itu saja tidak cukup. Perlu ada upaya serius dan sungguh-sungguh untuk membangun kedua infrastruktur lainnya.

Kedua, perlu dilakukan segera pembangunan infrastruktur pertanian yang terintegrasi dan tidak parsial. Agar manfaat yang dirasakan memiliki nilai tambah di masyarakat. Lengkapi pelabuhan-pelabuhan yang sudah dibangun dengan pergudangan berpendingin udara; lengkapi embung atau bendungan-bendungan yang dibangun dengan laboratorium dan kebun percobaan bagi penelitian atau klinik konsultasi kesehatan tanaman dan hewan, atau balai informasi dan promosi pertanian.

Ketiga, libatkan masyarakat lokal dalam pembangunan infrastruktur yang tangguh bencana. Masyarakat juga perlu diajak untuk sama-sama ikut menjaga infrastruktur yang sudah dibangun. Dengan begitu, kita berharap ke depan, pertanian Indonesia semakin maju. Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun