6 Juli 2016
Pagi-pagi kamu bergegas ke masjid melaksanakan sholat Ied bersama keluargamu. Aku turut merayakan keceriaan Lebaran bersamamu. Saling mengucap maaf lahir batin. Hijab yang kamu kenakan menambah keanggunan yang selama ini sudah kamu miliki. Aku bertemu pula dengan papa dan mamamu, calon mertuaku. Mereka menyambutku dengan hangat. Walaupun aku berbeda, mereka tak risih. Bahkan aku mulai terbiasa mengobrol ngalor-ngidul dengan papamu ditemani secangkir kopi dan cemilan.
28 Juli 2018
Tak terasa sudah memasuki masa akhir kuliah kita. Perjuangan yang telah kita lewati berdua tidak sia-sia. Empat tahun kita menjalani masa kuliah, empat tahun pula kita telah saling mengenal. 3,5 tahun kita jalani sebagai sepasang kekasih. Aku merasa menjadi seorang pria yang paling bahagia dalam empat tahun terakhir. Kita akan memasuki dunia yang baru selepas kuliah. Seperti janjiku pada orang tuamu, aku melanjutkan rencanaku untuk mengikatmu dalam tali pertunangan. Itu memang saat-saat yang sudah kunanti-nantikan. Aku sangat ingin menyaksikan senyum bahagiamu saat kuberikan kejutan momen lamaran manis.
Pada hari Minggu terakhir di bulan Juli, setelah aku beribadah di gereja pagi itu aku datang menjemputmu. Aku mengajakmu berkunjung ke tepian danau. Di tepian danau itu kita berbincang. Aku membeli dua buah kelapa muda untuk lebih menyegarkan suasana kita. Entah sudah berapa kali kita sudah mengunjungi tempat ini. Tempat ini memang favorit kita untuk melepas kerinduan dan menghabiskan waktu bersama. Kamu berkata kepadaku bahwa kamu selalu rindu untuk berdua denganku di tempat ini.
30 menit berlalu. Aku mengeluarkan cincin yang memang sudah kubawa sedari tadi. Aku sudah membayangkan bagaimana ekspresi bahagiamu ketika kulamar. Lalu akupun segera menyatakan kepadamu, "Sayang, mulai saat ini mari kita masuki fase yang lebih dalam. Aku ingin kita tidak sekedar berpacaran. Mari kita bersiap memasuki bingkai pernikahan melalui tali pertunangan." Aku mengutarakan niat tulus untuk kita mengikat janji melalui pertunangan.
Namun bukan, bukan itu ekspresi yang kubayangkan. Ekspresimu tidak sesuai ekspektasiku. Kamu nampak bingung. Aku bisa melihat wajahmu yang diliputi keraguan. "Kenapa sayang" tanyaku.
"Maaf sayang, aku sudah memikirkan ini sejak lama. Kita berbeda. Aku dan kamu tidak bisa menjadi satu. Dinding yang memisahkan kita begitu tinggi. Aku tak mungkin datang pada Tuhanmu. Begitupun kamu. Aku mendambakan sosok pendamping hidup yang akan menjadi imam panutanku seumur hidupku."
Rupanya keyakinan menjadi penghalang kita untuk jadi satu. Sejak itupun kita berpisah atas nama Agama. Aku tak pernah membayangkan. Momen yang seharusnya menjadi momen bahagia, malah berbalik menjadi momen perpisahan.
25 Desember 2020
Aku sudah lama tak mendengar kabar darimu. 2 tahun lebih waktu berlalu begitu saja. Untunglah aku terlalu sibuk bekerja hingga aku lupa untuk bersedih. Aku sengaja pindah ke kota yang jauh supaya aku tidak mengingat-ingat kenanganku tentangmu. Hari ini hari Natal. Peringatan kelahiran Yesus Kristus Sang Juruselamat. Aku datang ke sebuah gereja yang tak biasa aku datangi. Memang sengaja, aku ingin merasakan suasana lain. Pagi itu dalam ibadah Natal aku begitu menikmati khotbah dari Pendeta. Pak Pendeta muda ini memang pandai membawa suasana, gumamku. Aku begitu larut dalam renungan yang dibawakan oleh beliau. Seolah aku menemukan pewahyuan yang selama ini kucari.