Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Interkultural: Akulturasi, Asimilasi dan Amalgamasi

5 Juni 2025   18:15 Diperbarui: 6 Juni 2025   02:47 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya (Sumber: https://www.commisceo-global.com/blog/describing-culture-with-images)

Di sekolah saat mempelajari IPS ataupun Sosiologi SMA, pasti belajar mengenai akulturasi, asimilasi dan amalgamasi yang berkaitan erat dengan budaya. Banyak penjelasan ringkas yang mengatakan akulturasi itu A + B = AB atau asimilasi itu A + B = C, pernyataan itu memang benar dan tidak salah sepenuhnya, namun ada penjelasan yang lebih detail tidak hanya soal percampuran budaya. Dalam terminologi sosiologis, etnis minoritas berpakaian dan berbicara mengikuti budaya dominan, hal ini disebut sebagai "akulturasi", padahal bisa jadi itu justru proses asimilasi yang menekan identitas awal mereka. Atau dalam beberapa wacana politik dan kebijakan pemerintah daerah, proses pembauran suku tertentu dipaksa menjadi seragam atas nama "toleransi budaya", padahal yang terjadi sebenarnya adalah penyeragaman paksa asimilasi terselubung yang sering meminggirkan budaya lokal. Ketidaktepatan ini menjadi masalah serius karena berdampak langsung pada cara kita memandang pluralitas budaya di Indonesia.

Bahkan di sejumlah portal berita populer, istilah-istilah ini kadang digunakan tanpa definisi jelas, menciptakan kebingungan khususnya bagi diri saya sendiri. Oleh karena itu, saya menulis artikel ini ingin mencoba membedah secara tajam dan mendalam perbedaan mendasar antara ketiga istilah tersebut, dengan pendekatan konseptual sosiologi budaya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dinamika masyarakat multikultural. Dengan memahami secara kritis dan tepat konsep-konsep ini, saya rasa kita bisa melihat relasi antarbudaya bukan sekadar pencampuran simbolik, tetapi sebagai arena negosiasi kekuasaan, identitas, dan resistensi kultural yang tidak selalu harmonis. 

Secara konseptual, akulturasi, asimilasi, dan amalgamasi merupakan tiga konsep penting dalam studi sosiologi dan antropologi budaya untuk menjelaskan proses interaksi antarkelompok masyarakat berbeda budaya. Secara analisis sosiologis, ketiga istilah ini bisa kita fokuskan pada penerapannya terhadap implikasi sosial dan pluralisme masyarakat, sehingga penjelasan tulisan ini akan menyinggung konteks kekuasaan. 

Akulturasi sebagai Negosiasi Budaya

Akulturasi merupakan konsep dasar dalam sosiologi dan antropologi budaya yang menjelaskan proses interaksi antara dua kelompok budaya yang berbeda, di mana terjadi pertukaran unsur-unsur budaya tanpa menghilangkan identitas masing-masing kelompok secara menyeluruh. Beberapa konsep dari berbagai sosiolog sudah digambekan,

  • Seperti yang dijelaskan oleh Redfield, Linton, dan Herskovits (1936) dalam artikel klasik mereka Memorandum for the Study of Acculturation, akulturasi adalah fenomena sosial yang melibatkan kontak langsung dan terus-menerus antara kelompok yang berbeda budaya sehingga terjadi perubahan dalam pola budaya salah satu atau kedua kelompok. 
  • Alfred L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions menegaskan bahwa akulturasi terjadi ketika dua sistem budaya berbeda bertemu dan saling mempengaruhi, tetapi kedua sistem tersebut tetap eksis secara terpisah. 
  • Theodore Bestor (1989) memperluas konsep ini dalam konteks teori tindakan sosial, menegaskan bahwa akulturasi bukan sekadar transfer elemen budaya, melainkan juga negosiasi nilai dan praktik dalam interaksi antarpelaku budaya.

Dalam studi sosiologi dan antropologi, akulturasi tidak sekadar proses penerimaan unsur budaya asing oleh suatu kelompok, tetapi merupakan bentuk negosiasi kultural yang berlangsung terus-menerus antara budaya dominan dan budaya minoritas. Dalam pengertian ini, akulturasi dapat dibaca sebagai proses yang tidak selalu bersifat koersif, melainkan sering kali mencerminkan daya tawar budaya minoritas yang tetap berupaya mempertahankan identitas dasarnya, sekaligus mengakomodasi unsur budaya luar demi keberlangsungan sosial. Akulturasi dalam konteks ini bukan sekadar bentuk adaptasi pasif, melainkan strategi bertahan hidup budaya minoritas. Ini mencerminkan bahwa budaya bukan entitas monolitik, melainkan medan interaksi sosial yang dinamis. Sehingga, akulturasi bisa dilihat sebagai bentuk resistensi lunak terhadap hegemoni budaya luar, sekaligus adaptasi kreatif dalam menjaga keberlanjutan identitas lokal. Akulturasi tidak menghapus identitas, tapi menegosiasikannya, proses yang terjadi bekerja sebagai mekanisme dua arah yang memungkinkan masyarakat lokal untuk bertahan sekaligus berkembang, meski berada dalam tekanan budaya dominan. Proses ini memperlihatkan bahwa dalam ruang budaya, kuasa tidak selalu mengalir satu arah, ada perlawanan, kreativitas, dan strategi yang dijalankan oleh aktor-aktor budaya lokal.

Jika menggunakan prespektif Max Weber, akulturasi terjadi ketika individu atau kelompok melakukan adaptasi kebudayaan sebagai respons terhadap lingkungan sosial baru yang mereka hadapi, namun tanpa kehilangan karakteristik identitas awalnya. Sebagai tindakan sosial, akulturasi terlihat ketika subkelompok budaya menerima unsur-unsur praktik budaya dominan atau asing, tetapi mempertahankan struktur identitas mereka. Misalnya, pedagang Tionghoa yang datang ke Semarang pada abad ke-19 mengadopsi praktik syiar Islam dengan membiayai pendirian masjid, namun mereka tetap mempertahankan ritual Imlek dan yassa adat Tionghoa. Interaksi seperti ini menghasilkan bangunan masjid dengan atap bergaya "pusaka Jawa" dan ornamen Tionghoa, misalnya Masjid Agung Demak, yang secara arsitektural memadukan tipologi joglo Jawa dengan simbol-simbol Tionghoa. Demikian pula pedagang Timur Tengah yang berdagang di Sumatra Barat mengambil elemen ranah Minang (misalnya teknik pemasangan keramik dan tata letak serambi), tetapi tetap mempraktikkan ritual sembahyang Islami serta syariat Islam tanpa kehilangan identitas Arabnya.

Asimilasi sebagai Instrumen Adaptasi Individu dalam Masyarakat 

Asimilasi, berbeda dengan akulturasi, merupakan proses di mana satu kelompok budaya yang lebih kecil atau minoritas secara bertahap mengadopsi nilai, norma, dan identitas budaya kelompok dominan hingga identitas budaya asalnya mengalami penyerapan atau bahkan hilang sama sekali. Ada beberapa konsep yang dijelaskan oleh para sosiolog,

  • Sosiolog Milton M. Gordon (1964) dalam Assimilation in American Life, asimilasi didefinisikan sebagai proses di mana kelompok minoritas kehilangan ciri khas budaya mereka dan menyatu sepenuhnya dengan budaya dominan, sehingga identitas asal terhapus atau tereduksi menjadi bagian homogen dalam masyarakat.
  • Tanggapan teori interaksionis seperti yang dijelaskan oleh Herbert Blumer (1969) menegaskan bahwa asimilasi terjadi melalui proses tindakan sosial yang diwarnai oleh tekanan normatif, di mana individu atau kelompok memiliki insentif sosial-ekonomi untuk "berpura-pura" menjadi bagian dari kelompok mayoritas.

Jika menggunakan pendekatan tindakan sosial Weberian, asimilasi bisa dilihat sebagai tindakan strategis individu atau kelompok dalam memenuhi norma dominan agar memperoleh legitimasi dan akses sosial-ekonomi, walau pada akhirnya mengorbankan identitas budaya asal. Misalnya, dalam lingkungan kampus atau tempat kerja di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, mahasiswa dari daerah dengan latar belakang budaya kuat sering kali mengadopsi gaya hidup, bahasa, serta norma sosial urban yang lebih dominan demi mendapatkan pengakuan sosial dan akses lebih baik dalam jaringan sosial dan profesional. Mahasiswa asal daerah tersebut, secara sadar meninggalkan bahasa daerahnya atau aksen bicaranya yang "medok" atau ke-jawa-jawaan di lingkungan pergaulan kampus dan mengganti dengan bahasa Indonesia formal atau bahasa Inggris untuk meningkatkan peluang akademik dan sosial. Tindakan ini merupakan respons strategis terhadap tekanan sosial dan ekspektasi kelompok mayoritas, yang sekaligus menyebabkan proses pelepasan atau reduksi identitas budaya asal mereka. Dalam teori tindakan sosial Max Weber, hal ini merupakan bentuk tindakan rasional instrumental di mana individu memilih cara berperilaku tertentu demi mencapai tujuan sosial tertentu, meskipun harus mengorbankan aspek identitas budaya aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun